OPINI: Nasib Pekerja Migran Indonesia di Malaysia

 

Oleh: Penny Charity Lumbanraja

Permasalahan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia tak kunjung berhenti. Baru-baru ini Pemerintah Indonesia kembali mendeportasi pekerja migran ilegal ke Indonesia. Mereka dipulangkan ke Medan pada hari Senin (3/12) lalu. Selanjutnya proses perlindungan dilaksanakan oleh Satuan Petugas Pemulangan TKI B di Embarkasi/Debarkasi. Hal ini dilakukan agar para pekerja migran tersebut dapat terhindar dari kasus perdagangan manusia oleh pihak agen ilegal sebelum mereka dipulangkan kembali ke tempatnya.


Pada kenyataannya, proses sebelum pemberangkatan calon pekerja migran ke Malaysia sering menyimpang. Medan merupakan salah satu kota yang memberangkatkan pekerja ke Malaysia. Malaysia lebih menyenangi pekerja asal Indonesia lantaran pekerja Indonesia mampu bekerja melebihi beban kerja di luar dari kesepakatan gaji dengan rincian pekerjaan yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya, bagi pekerja migran, negara Malaysia menjadi magnet yang menarik mereka untuk bekerja di sana.


Pertimbangan bagi masyarakat memutuskan untuk menjadi pekerja migran karena didesak oleh kebutuhan hidup yang ganas. Harga kebutuhan dasar yang fluktuatif yang terkadang menaik tak terduga, membuat rakyat merangkak.


Rendahnya tingkat penawaran kerja di Indonesia menjadi salah satu faktor. Dengan latar pendidikan yang standar (SMP atau SMA) sudah bisa memperoleh pendapatan yang cukup jika bekerja di Malaysia. Namun, jika di Indonesia, mereka tidak memperoleh pendapatan sebegitu besar dibandingkan di Malaysia untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.


Banyak kilang yang beroperasi di Malaysia. Namun, Malaysia sangat kekurangan tenaga kerja yang mau dilemparkan untuk bekerja di lapangan.


Rendahnya tingkat pendidikan pekerja migran sering dimanfaatkan oleh agen-agen jasa yang merekrut para pekerja. PPTKIS (Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) bertindak curang habis-habisan demi meraup keuntungan dari setiaporang tenaga kerja yang direkrut. Mulai dari pemalsuan usia hingga pemberkasan administrasi.


Tindakan pemalsuan ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Hal ini tertulis pada Pasal 5, bahwa setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus memenuhi persyaratan usia (minimal 18 tahun), memiliki kompetensi, sehat jasmani dan rohani, terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan jaminan sosial dan memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan.
Ketentuan mengenai kriteria persyaratan perekrutan calon pekerja migran tersebut juga terdapat di Permenakertrans No.22 Tahun 2014 Pasal 15.


Artinya, banyak peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur perekrutan para calon pekerja migran sebagai wujud perlindungan dari segi hukum. Akan tetapi, mengapa masih didapati nasib pekerja yang bekerja kian memburuk?


BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) melaporkan, gaji  yang tidak dibayarkan menjadi masalah yang paling banyak diadukan oleh para pekerja migran. Padahal, hal itu sangat penting bagi mereka, sebagai upaya untuk memperoleh kehidupan yang layak.


Selain itu,banyak pekerja migran yang overstay (kelebihan waktu tinggal) akibat ketidaksesuaian waktu kerja dengan pengguna yang menyebabkan eksploitasi bagi mereka. Hal ini terjadi juga akibat ulah nakal agen jasa ilegal perekrut tenaga kerja tersebut.


Kepala Bagian Humas BNP2TKI, Dr. Servulus Bobo Riti menyebutkan bahwa penempatan pekerja migran ke luar negeri dibagi ke dalam dua sektor. Formal dan informal. Sektor formal yaitu Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di kilang (perusahaan) sebagai buruh pabrik, sedangkan sektor informal yaitu Pekerja Migran Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.


Perekrutan pekerja migran non-prosedural (tanpa dokumen resmi) menjadi dalang masalah bagi nasib mereka yang bekerja. Hal inilah yang membuat mereka secara hukum tidak terlindungi. Terjadilah ketidaksesuaian di dalam perjanjian pada perekrutan dan penempatan pekerja migran. Inilah yang menyebabkan banyak pekerja migran bermasalah di kilang tempat mereka bekerja di tempat yang tidak seharusnya.


Karena itu, banyak pekerja migran yang mengulah karena pekerjaan yang mereka kerjakan di luar dari kesanggupan kompetensinya. Tidak sedikit pula di antara mereka yang kabur atau lari kontrak dari kilang tempat mereka bekerja. Hidup mereka terkatung-katung di negeri yang tak diketahui, hingga kemungkinan terburuknya terjadi perdagangan ilegal manusia (human traffic).


Sebagian besar juga, Pekerja Migran Indonesia yang bermasalah dideportasi di penampungan/penjara KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) yang berada di ibu kota negara bekerja dan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di kota negara bekerja agar mereka memperoleh perlindungan sementara, sebelum mereka dipulangkan ke tempatnya masing-masing.


Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP PKS, Farouk Abdullah Alwyni menambah, banyaknya TKI non-prosedural yang direkrut oleh agen ilegal lantaran pihak KJRI tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Mereka tidak serius dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di sana.


Banyak hal yang merugikan nasib para Pekerja Migran Indonesia. Tuntutan kebutuhan hiduplah menghantarkan mereka ke negeri seberang untuk bertahan. Sayangnya, meskipun UU dan segala peraturan telah ditetapkan, masih saja didapati pemerintah kebablasan yang berujung pada pertaruhan nyawa para pekerja.


Rendahnya perhatian pemerintah bagi nasib para Pekerja Migran Indonesia membuat mereka kehilangan kepercayaan bagi negaranya sendiri, Indonesia. Padahal yang mereka lakukan sebagai perwujudan batang tubuh UUD 1945 Pasal 28 A tentang seseorang berhak untuk hidup dan  mempertahankan hidup dan kehidupannya.


Intinya, marak penyeludupan pekerja migrain, karena iming-iming dapat bekerja di luar negeri yang begitu memikat. Upaya pengiriman pun begitu mudah walau tanpa dokumen persyaratan.


Ada sindikat besar yang bermain. Namun, yang jauh lebih besar masalahnya justru karena sulitnya mendapatkan lowongan pekerjaan di tanah air. Apalagi belum ada skema dari pemerintah dalam menampung tenaga kerja yang rendah pendidikannya.


Jika di rumah sendiri tak ada pekerjaan, alternatif yang mungkin dipilih adalah minggat dari rumah dan masuk ke rumah orang lain. Pola seperti itulah yang sekarang dialami oleh kaum pekerja migran di tanah air.


Para pekerja berani mengambil langkah merantau demi kelayakan hidupnya. Namun, kapan pemerintah bersikap lebih tegas agar nasib para Pekerja Migran Indonesia tidak dipertaruhkan lagi?

*) Penulis adalah alumnus USU dan bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen)

Telah terbit di idn-times

https://community.idntimes.com/preview-article/sr9bjpl56NzRc496QUnDGF5whROWPe1j 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM