BUDAYA TIMUR VS PERSEPSI

Penny Charity Lumbanraja
Mungkin,  semenjak membumingnya istilah “Baper”, orang lain jadi mensugesti diri sendiri. 
“Jangan mudah merasa, kamunya yang terlalu membawa perasaan”, saya mendengar nasihat itu dari orang lain.

Kadang hal itu terus membebani pikiran. Andai tak tercaplok makna istilah itu, pasti akan berbeda respon kepadanya, jikalau ia menunjukkan corak sifatnya. Yah, tidak perlu ditanyakan dan bergeming di hati. “Mengapa engkau baik sekali padaku”. Padahal budaya ketimuran mengajarkan kita memiliki sifat yang sopan, ramah dan tidak cenderung hidup lebih individualis. Padahal budaya ketimuran mengajarkan kita untuk dapat memiliki sifat toleransi tinggi, tanpa ada unsur persepsi yang mengusik pikiran.  Padahal budaya timur juga menanamkan pola pikir kita untuk tidak berpikir seperti orang-orang kuno yang kolot dan sukar untuk menerima setiap umpan baru yang positif maupun yang negatif, sehingga stimulusnya, diri ini kadang tidak dapat menyesuaikan diri akan arus perubahan-perubahan yang terjadi seiring berjalannya roda waktu. Menanamkan konsepsi yang kontemporer, tidak seutuhnya dapat diterima oleh orang lain. Kadang lebih dahulu muncul iklim negatif dalam benak dan pikiran masing-masing. Entah itu respon antisipasi, terkadang sulit untuk membedakannya. Belum sempat mengenali, hanya pada persoalan lebih cepat berpikir daripada waktu yang berjalan. Eh, ternyata salah duga. Padahal waktu itu tak pernah berhenti. Tetapi, yang terjadi adalah rasa bersalah dan rasa dilema, antara memperbaiki nuansa, memperbaiki pola persepsi, atau sikap acuh tak acuh saja. Tinggal dibudaya timur, kadang jadi membatasi diri sendiri. Sampai-sampai untuk mengungkapkan sesuatu yang semakin tenggelam di dalam hati, diri ini bisa berperang dengan kinematika rasionalitas yang berjalan dan disesuaikan dengan nilai-nilai ketidakpantasan akibat budaya timur tadi. Kadang muncul lagi istilah persepsi itu. Tolak ukur yang baiknya hanya dilihat dari nilai-nilai budaya ketimuran. Ya, karena persepsi kan tidak bisa diukur. Tidak ada indikatornya. Hanya masalh pandangan diri sendiri yang memunculkan stimulus akibat tangkapan panca indera. Maka, sulit untuk menyatakan kebenaran dan kesalahannya. Karena ada asas falsifikasi, kita jadi tahu, mana yang menjadi kebenaran dan kesalahan. Semuanya hanya masalah di dalam komunikasi dan penyampaiannya. Itulah mengapa, yang berdekatan itu cenderung lebih mudah mengalami gesekan, namanya saja juga berdekatan. Apalagi yang berjauhan. Komunikasi langsung saja juga bisa menimbulkan persepsi, apalagi yang tidak berkomunikasi secara langsung. Itulah mengapa ada seorang yang bilang, “Karena hidupku 100% berada di dunia nyata, maka aku tidak suka duniamu”. Dunia yang seperti apa, kurang jelas maknanya. Tetapi, mungkin lawannya dari dunia nyata, maya. Itulah persepsi itu. Timpang dengan budaya timur. Padahal melalui teknologi, orang lain juga bisa bersosialisasi positif, berelasi dan membangun iklim organisasi yang progresif. Sekalipun fasih namun tetap pada lini yang terarah. Semuanya hanya pada pola pikir. Ah, sulitlah membongkar cara berpikir orang lain, karena sifat manusia yang berubah-ubah secara fluktuatif, termasuk sifat diri sendiri. Berhadapan dengan satu orang saja pasti berbeda dengan orang lain. Karena harus menyesuaikan pandangan pikiran pribadi dengan pandangan pikiran orang lain yang heterogen. Itulah yang membuat kadang menempatkan posisi diam itu lebih baik daripada terlalu banyak berkomunikasi, namun tidak melahirkan suatu solusi dan kesimpulan. Di dalam komunikasi juga, seseorang kadang mau menyampaikan maknanya yang terselubung. Siapa yang tahu isi hati dan pikiran. Bagaimana di dalam diri kita, dapat mengisi dan mempengaruhi kehidupan orang lain yang tidak menyimpang dengan ajaran-ajaran budaya timur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM