CERPEN: Susu Kambing Untuk Sekolah

Oleh Penny Charity Lumbanraja
Di suatu desa di daerah lahan perkebunan, hiduplah sebuah keluarga yang sangat sederhana. Sepasang suami istri, beranak 3. Si sulung yang sudah beranjak dewasa. 18 tahun kira-kira umurnya. Michael namanya. Yang kedua adalah seorang gadis. Usia mereka berdua hanya berbeda 1 tahun. Margaretha namanya.
Margaretha masih duduk dibangku Sekolah Menengah Kejuruan dengan jurusan Administrasi Keuangan di tahun akhir. Dan yang bungsu berusia 14 tahun. Sebentar lagi akan menamatkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Jadi, setiap harinya Ryan pergi dan pulang sekolah hanya berjalan kaki sepanjang 2 km menuju sekolah tercintanya itu, keluar dari daerah perkebunan karet tempat kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh. Jadi, kehidupan keluarga Pak Togar tergolong sangat sederhana. Baik pakaian, makanan, pola hidup. Namun, tidak miskin pola berpikir, Pak Togar mengajarkan hal-hal yang benar kepada anak-anaknya.
Sekalipun Pak Togar hanya tamat SMA, Pak Togar memiliki pola pandangan yang sangat dewasa ditanamkan kepada anak-anaknya. Tekanan hidup yang besar untuk mempertahankan hidup di lahan tempat tinggal yang bukanlah milik sendiri membentuk Pak Togar dan keluarganya untuk hidup apa adanya.
“Pak, dulu Bapak sekolah SMA di Kisaran?”, ujar Margaretha bertanya kepada Ayahnya.
“Iya Pak, kenapa tidak sekolah di kampung?”, sahut Michael kepada Ayahnya sambil melihat ke arah kaos olahraga milik Ayah yang masih muat di tubuh Ayahnya yang kurus tersebut sambil menyiapkan bekal makan siang untuk pergi berladang.
“Bapak dulu merantau dari kampung. Oppungmu tidak sanggup menyekolahkan aku ke jenjang yang lebih tinggi, jadi aku mengikuti kawanku yang keluarganya merantau dari kampung ke Kisaran”, jelas Ayahnya singkat kepada ketiga anak-anaknya yang dikasihinya.
“Oh, begitu ya Pak. Baik sekali keluarga kawan Bapak itu.”, ujar Ryan kepada Ayahnya.
“Ya, begitu lah, Mang. sambil mengurus ladang. Itu pun Bapak Cuma tamat SMA.”, ujar Ayah dengan tawa kecil menghibur dirinya.
“Itulah perjuangan Bapakmu, Mang. Bagus-baguslah kau sekolah ya Mang, biar jangan tamat SMA saja”, sahut Ibu.
“Ryan, udah tau kau Dek, dimana kamu akan berencana melanjut?”, tanya Michael kepada adik bungsunya.
“Aku masih bingung, Bang. Mau melanjut ke SMA atau SMK. Kalau aku bercita-cita ke SMA, tetapi kalau aku sudah tamat SMA, aku harus berpikir lagi.Setelah tamat SMA aku mau melanjut kuliah atau tidak. Jangankan mau kuliah, kita sekeluarga saja bisa makan dengan kebutuhan gizi yang cukup sudah syukur, Bang”, ujar Ryan dengan apa adanya.
“Jangan begitu , Dek. Kita gak punya hak untuk khawatir. Pasti adek bisa melanjut kuliah”, hibur Michael kepada Ryan.
“Aku ambil sekolah SMK saja lah Bang. Jadi, kalau aku sudah tamat nanti, aku bisa langsung bekerja, seperti kak Retha.”, jelasnya kepada Michael sambil berjalan menuju ke arah dapur rumah hendak mengambil botol minumannya.
“Kejarlah cita-citamu Dek. Abangmu ini rela memeras susu kambing-kambing ini supaya bisa kau sekolah”, dukung Michael kepada adik laki-lakinya.
“Dengarlah abangmu itu Mang, janganlah pernah ragu untuk mengejar cita-citamu. Tidak apa makan ikan asin dan daun singkong tanaman kita ini, asal anak-anakku semuanya bisa sekolah. Itulah kebanggaan Bapak dan Mamakmu ini.”, sahut Ibu kepada anak-anaknya.
“Apanya kau Bang. Abang saja belum bisa melanjut kuliah setelah hampir satu tahun menganggur. Gimana lah mau semangat aku melanjut sekolah,Bang?”, ujar Ryan dengan tidak semangat.
“Abang belum fokus untuk kuliah bukan karena Abang tidak mampu Dek. Abang tetap punya cita-cita untuk melanjut. Hanya saja, Abang mau fokus dulu untuk merawat kambing-kambing ini dan persiapan untuk masuk Perguruan Tinggi Dek”, tutur Michael kepada Adiknya seraya mengembalikan semangat Adiknya.
“Bagaimana Abang dapat Aku lihat fokus belajar. Pagi, siang, dan sore pun tak kunjung henti mengurus kambing.”, ujar Margaretha.
“Ah Kau ini Dek. Kau saja pergi ke sekolah dari pagi sampai sore. Mana mungkin kau lihat-lihat Abangmu ini belajar, kan?”, jelasnya.
“Ya, aku yakin sama kemampuanmu, Bang. Mudah-mudahan, tahun ini Abang bisa meninggalkan kambing-kambing ini, ya.”, ujar Margaretha kepada Michael.
“Ya, Adik-adikku. Bergegaslah engkau pergi ke sekolah. Hari sudah semakin menerang. Jangan sampai kau terlambat ke sekolah. Kita ingatlah perjuangan Bapak dan Mamak kita. Dan kau Ryan, pikirkanlah SMA mana yang menjadi impianmu, jangan takut bermimpi Dek. Kalau kau takut, kau hanya perlu bangun saja, kan?”, ujarnya kepada kedua adik-adiknya sambil memegang sapu halaman.
Hari semakin terang. Tak lama lagi, matahari tepat di atas kepala. Setelah selesai membersihkan halaman rumah dari kotoran-kotoran kambing, Michael bergegas pergi ke lahan perkebunan karet tempat ayahnya bekerja menderes getah karet yang bukan milik keluarganya sambil menyisipkan buku bacaan miliknya di dalam celananya.
“Bang, bawalah kopi dan kerupuk-kerupuk itu ke ladang, ya.”, ujar Ibunya sambil menjahit pakaian.
“Iya, Mak.”, ujarnya.
***
“Bah, apa yang kau bawa itu, Mang?”, teriak Bapak kepada Michael dari balik pohon karet dengan ember yang berisi getah karet yang hampir meninggi.
“Kopi dan kerupuk nasi Pak”, teriaknya dengan pelan sambil melihat ke arah wajah Bapaknya yang sudah bercucuran keringat tanda kelelahan.
“Bah, bah. Pulanglah, Mang. Belajarlah di rumah. Bukannya katamu kau mau ikut ujian masuk Perguruan Negeri.”, ujar Ayahnya yang sambil mencari tempat untuk beristirahat.
“Iya, Pak. Sebentar lagilah aku pulang. Sebentar lagi aku mau mengantar susu-susu ini ke penjual. Aku mau menjemput motor, Pak, dan membawa kopi manis ini untuk Bapak.”, ujarnya sambil mengangkat ember getah karet yang berat itu dan membaca buku yang dia bawa tadi.
“Oh, iyanya, Mang. Ambillah kuncinya di dalam tas Bapak. Kugantung di dahan pohon sebelah sana.”, ujar Bapak sambil mencabut lalang di sekitar pohon-pohon Karet.
“Iya, Pak.”, sahutnya sambil berbicara di dalam hati. Panjang umurlah Bapak, kelak Bapak tidak akan menderes getah-getah pohon ini. Doanya di dalam hati.
Seperti biasa, Michael pun mengengkol motor tua milik ayahnya. Dan bergegas pulang ke rumah untuk mengantar susu kambing kepada penjual susu di kota.
“Mak, aku mau mengantar susu. Sebentar saja, nanti aku saja yang ngasih makan kambing-kambing ini dan sambil menjemput adik Ryan dari sekolahnya.”, ujar Michael kepada Ibunya.
“Iyalah Mang, sambil jemputlah adikmu. Kasihan dia, tasnya berat sekali, tapi harus berjalan jauh pulang ke rumah.”, pesan ibu kepada Michael.//
Setibanya kepada penjual susu kambing.
“Jadi 5 liter yang kau bawa ini dek?”, ujar penjual susu.
“Iya, bang. Lusa aku antar lagi. Seperti biasa.”, ujarnya.
“Semuanya seratus dua puluh lima ribu rupiah. Ini abang lebihkan sepuluh ribu untuk rokokmu.”, sambil menyodorkan uang.
“Terima kasih, bang. Gak merokok aku, bang.”, ujarnya kepada penjual susu.
“Oh, baguslah dek. Kukira kau merokok”, ujarnya dengan nada pelan.
Sebentar saja menjual susu kepada penjual susu, Michael pun memutar arah motor untuk bergegas pulang ke rumah. Sambil melihat ke arah penunjuk isi bensin.
“Wah, sudah kandas bensin motor ini rupanya. Untung saja ada uang sepuluh ribu tadi.”, gumamnya di dalam hati sambil menghela nafas lelahnya.
Jalan raya daerah kabupaten tempat ia tinggal merupakan arus lalu lintas Sumatera, Sehingga kondisinya, jalan tersebut dilalui oleh truk-truk besar pengangkut bahan baku industri, bahkan hasil-hasil perkebunan, baik kelapa, kelapa sawit, karet dan lain sebagainya.
Sambil mengendarai sepeda motor dan melihat ke arah pom bensin untuk mengambil jalur pengisian bensin. Michael mengambil antrian di jalur kedua dibelakang seorang bapak tua. Karena merasa antrian gilirannya masih jauh, pandangannya ke arah sekolah negeri tempat adiknya, Ryan bersekolah. Letak sekolah adiknya tepat di seberang pom bensin. Dia memastikan apakah adiknya sudah pulang sekolah atau tidak. Hingga dia dikejutkan oleh teguran Bapak tua lain yang ada di sebelahnya.
“Oi, Nak. Kau di jalur mana sekarang!”, tegur Bapak tua yang memakai seragam bekerja tersebutyang berada di sebelahnya dengan nada menantang.
“Oh, saya di sini, Pak.”, ujar Michael dengan nada sopan.
“Yang enggak kau lihatnya, di sini hanya ada satu jalur. Ngapai kau buka jalur lain.”, sahut Bapak tua tersebut dengan nada keras.
“Maaf, Pak. Tadi ada dua jalur kok, saya tidak tahu kalau jadi satu jalur akhirnya.”, jelasnya kepada Bapak tua tersebut dengan sopan.
Bapak tersebut pun mendiaminya tetapi sambil menggerutu di sampingnya dengan nada yang bisa didengari olehnya.
“Memang anak muda zaman sekarang sudah kurang ajar semua, yang tidak diajarkankah tata krama sama orang tuanya atau tidak bereskah orang tuanya mengajarkan tata krama.”, gumamnya dengan nada pelan dengan pandangan sinis yang merendahkan.
“Pak, maaf sebelumnya. Saya tidak ada maksud untuk mendahului Bapak, sama sekali tidak bermaksud. Mengapa Bapak harus membawa-bawa orang tua saya. Lagian posisi saya tidak ada mendahului Bapak. Kalau Bapak mau lebih dahulu, saya persilahkan, tidak menjadi masalah untuk saya. Jangan cepat menilai orang lain dengan mudah, Pak. Orang tua saya baik mengajarkan tata krama kepada saya.”, jelasnya kepada Bapak tua berseragam itu.
Sampai-sampai petugas pengisi bensin teralihkan pandangannya kepada mereka.
“Oh, baiklah.”, ujar Bapak tua tersebut dengan nada ketus.
“Sabar, Nak.”, kata petugas kepadanya dengan nada pelan dan berisyarat.
“Iya, Pak”, ujarnya sambil mengangguk.
Setelah selesai mengisi bensin dan keluar dari pom bensin, Michael pun melanjutkan perjalanannya. Dengan senang ia melihat adik kecilnya berjalan dengan tas besarnya sambil memegang botol minuman yang bersisa sedikit lagi. Sambil mengendarai sepeda motor, ia pun bercerita kepada adiknya akan hal yang ia alami barusan.
“Jadi, Dek. Suatu saat nanti ketika engkau menjadi orang yang berhasil dan sukses, apapun keadaanmu, kau harus menjadi orang yang rendah hati. Jangan mudah menilai orang lain dari penampilannya. Karena penampilan bisa menipu orang lain. Ingatlah lebih baik sederhana, apa adanya saja dibalik kehidupanmu yang bergelimang suatu saat nanti. Semangatlah engkau belajar.”, nasihatnya.
“Iya, Bang. Aku akan tetap melanjut ke sekolah SMA, aku gak mau kita terus begini.”, ujar Ryan.
“Iya dek, seperti ada kutipan yang pernah Abang baca. Bukan salah kita jikalau kita terlahir miskin, tetapi akan jadi salah kita jikalau meninggalpun kita masih dalam keadaan miskin. Abang tetap akan semangat memeras susu kambing untuk sekolah, Dek.”, ujarnya menyemangati adiknya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM