Minat Matematika bagi Anak Indonesia Kian Merosot
OPINI
Belajar Matematika selalu menjadi ketakutan bagi banyak anak
Indonesia di sekolah. Nilai standar pencapaian jika berhasil dilampaui anak
dari nilai KKM (Ketuntasan Kriteria Minimal) sudah dianggap jadi momok yang
menggiurkan.
Guru kewalahan melakukan pendekatan yang jitu untuk
menggenjot minat belajar pelajar sekolah Indonesia. Apalagi untuk memahami
pelajaran eksak yang satu ini. Sama seperti teman serumpunnya, fisika dan
kimia. Jangankan jadi pelajaran yang disenangi, bisa capai nilai standar sudah
membutuhkan banyak pengorbanan.
Pelajaran matematika sering dianggap menakutkan, apalagi
kalau guru yang mengajar juga tak mampu menuangkan metode belajar matematika
dengan baik. Metode pembelajaran dianggap membosankan bagi mereka. Mendengarnya
saja sudah menjadi mimpi buruk setiap hari bagi siswa.
Trauma pelajar tanah air pada matematika dibuktikan dari
hasil Survei Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil studi
ini menempatkan kemampuan anak-anak Indonesia dalam belajar matematika menduduki
posisi ke 63 dari 72 negara.
Studi ini diperoleh pada tahun 2015 silam yang dilakukan
oleh organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Penelitian ini
dilakukan pada sejumlah anak dengan menyetarai kebutuhan standar belajar
matematika pada usia 7-14 tahun dengan anak berusia 15 tahun ke atas. Hal ini
memaparkan dengan jelas tentang kemampuan ber-matematika anak yang kian
menurun.
Hasil tersebut mengindikasikan posisi pelajar Indonesia
berada pada ambang yang curam. Sebagaimana kita tahu, melalui belajar
matematika dapat melatih pelajar untuk mengembangkan potensi ataupun penalaran
dasarnya dalam berpikir.
Dengan peringkat tersebut, sistem pemahaman pelajar
Indonesia pada matematika sangatlah rendah. Kalah jauh dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Salah satunya adalah Negara Vietnam,
ternyata negara berlambang bintang pada benderanya berada pada peringkat ke-12.
Disusul jauh oleh negara dengan ikon Singa, Singapura menempati posisi pertama.
Didukung oleh hasil riset Trend in International Mathematics
and Science Study (TIMSS) pada 3 tahun yang lalu mencatat, rendahnya potensi
penguasaan matematika pelajar Indonesia. Negara Indonesia berada pada peringkat
ke-45 dari 50 negara yang disurvei.
Data yang diperoleh dari Deklarasi Gerakan Nasional Berantas
Buta Matematika menunjang penggambaran kondisi kompetensi matematika anak-anak
Indonesia. Pada tahun 2016, kompetensi matematika siswa SD sangat mengerikan.
77,13% merupakan persentase yang sangat rendah. 20,58% memberikan kondisi yang
cukup dan 2,29% pada kategori baik.
Begitu pula pada tahun 2017 untuk anak SMP. Pihak AKSI
(Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) untuk siswa SMP di Provinsi DKI dan DIY
mencatat, minat literasi anak untuk belajar matematika tidak lebih dari 28%.
Jika penilaian pada rentang 0-100%, kondisi ini sangatlah buruk.
Parahnya lagi, program RISE (Research on Improving Systems
of Education) di Indonesia baru merilis studinya. Survei ini diambil dari IFLS
(Indonesia Family Life Survey) yang dilakukan pada 83% populasi di Indonesia di
tahun 2000, 2007, dan 2014. Hasil survei menginformasikan bahwa kemampuan siswa
dalam memecahkan soal matematika hanya meningkat sebesar 10,5% dalam 12 tahun.
Tidak lebih 0,9% per tahunnya. Sungguh memprihatinkan.
Dalam dunia pendidikan formal, polemiknya, sistem
pembelajaran matematika kian berkembang
dari tahun ke tahun. Guru-guru dengan metode lamanya mulai kewalahan
melihat tingkat kerumitan yang semakin meningkat. Matematika selalu dijumpai
pada setiap tingkatan. Mulai dari SD hingga SMA, bahkan tak lepas pada jenjang
perguruan tinggi.
Itu berarti, sepatutnya memahami belajar matematika. Hal ini
penting untuk mengembangkan kemampuan otak kiri dalam bernalar dan melatih
pemikiran kritis. Hampir seluruh persoalan kehidupan ini bisa dipecahkan dengan
melibatkan penalaran ber-matematika. Karena itulah yang menjadi basis
pertimbangan penyelesaian masalah.
Tanpa kita sadari, belajar matematika tidak hanya sekedar
melibatkan otak dengan angka-angka, persamaan, grafik maupun pemetaan pada
tingkat dasar. Bahkan parahnya menghafal mati rumus-rumus kaku yang tak
dipahami darimana asalnya. Kesulitan merekam setiap simbol matematika ibarat menyatakan suatu bahasa yang kuno.
Sejatinya tidaklah demikian.
Belajar matematika merangkai pola pikir kita untuk berpikir
secara runut, sistematis, terukur, dan teratur dengan mempertimbangkan banyak
hal yang terkait di dalamnya. Secara refleks, cara berpikir otak kita akan
membentuk suatu alur yang rasional. Apalagi jika sudah ada memori pengalaman
yang terekam. Hal ini dapat membantu kita memberikan pengambilan keputusan yang
tepat dan bijaksana.
Belajar matematika melatih seseorang berpikir cermat dan
teliti dalam mengambil suatu tindakan. Mampu memperhitungkan setiap kesempatan
dan memperkirakan hal-hal yang menjadi resiko dapat membantu seseorang
mengambil sikap.
Ditambah lagi jika seseorang tersebut yang melatih
kemampuannya penalarannya dengan mampu memodelkan suatu kasus dalam suatu
rangkaian persamaan matematik. Permasalahan tersebut dijadikan momen yang baik
untuk dipecahkan dengan menemukan setiap parameternya. Kreatif.
Selain itu, belajar matematika membawa dampak baik untuk
melatih mental dan karakter psikologis seseorang. Belajar kesabaran, kejujuran,
dan menghargai setiap perjuangan. Belajar untuk tidak menyerah dalam memecahkan
soal yang diberikan.
Mampu menyelesaikan soal matematika pasti memiliki nilai
kepuasam sendiri. Apalagi jika diselesaikan dengan mandiri. Hal ini adalah
sepenggal dari ribuan manfaat yang dapat diperoleh dari belajar matematika.
Manfaat belajar matematika menjadi aset jangka panjang bagi kita.
Proses-proses yang dilalui untuk memahami per topik tidaklah
mudah. Otak menguras 3 kali energi tubuh dalam belajar, dan sebagian di
dalamnya tentu dihabiskan untuk belajar matematika. Semua orang menghadapi
kesulitan ini. Jadi, tidak heran, banyak orang tua membutuhkan pendamping
belajar tambahan untuk mengatasi kesulitan anaknya menghadapi pelajaran
matematika di rumah.
Hal itu tidak sepenuhnya rumit seperti yang dibayangkan.
Lebih rumit lagi menemukan sebuah teori matematika baru seperti lemma, teorema,
dalil yang membutuhkan suatu pembuktian yang handal dan akurat seperti yang
dilakukan para ilmuwan terdahulu. Kita hanya tinggal melihat, memahami dan
menerapkannya dengan baik.
Belajar matematika adalah persoalan memberi waktu dan niat
untuk mau memahami setiap materi. Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya
adalah, pertama, bentuk di dalam mindset kita bahwa pelajaran matematika tidak
sulit dan menyenangkan. Lakukanlah dengan keinginan yang kuat dan
bersungguh-sungguh. Dengan ada tindakan seperti ini, akan terpancar energi yang
positif dari dalam diri kita.
Kedua, belajar matematika tidak sepenuhnya menghafal rumus.
Jika diperhadapkan pada rumus-rumus dengan istilah tertentu, pahami dengan baik
penerapannya. Sehingga rumus-rumus yang ada dapat diimplementasikan pada kasus
atau pertanyaan yang diajukan.
Ketiga, membiasakan diri untuk berlatih. Belajar matematika
berarti harus siap menjadi kuli. Maksudnya adalah, begitu materi sudah
dipahami, dengan gigih untuk menyelesaikan pertanyaan yang diberikan. Rajinlah
menuntaskan setiap soal yang ada dan berkaitan dengan materi yang dipelajari.
Jangan pernah menjauhkan diri kita dari alat tulis sebagai amunisi untuk
berlatih. Cara ini amat krusial.
Milikilah rasa penasaran tersebut, milikilah juga rasa
bersalah itu. Jika kita tak punya keinginan untuk memahami matematika dengan
baik, dengan adanya rasa penasaran dan bersalah akan mengoreksi diri kita untuk
belajar matematika. Dengan adanya pemikiran seperti ini akan membudaya dengan
baik untuk punya keinginan belajar sesuatu yang lebih.
Keempat, bentuklah kelompok belajar khusus. Dengan adanya
perhimpunan diskusi belajar akan saling membantu sesama yang lain. Tentunya
dapat dibangun dengan pergaulan baik dengan teman yang memiliki kemampuan
ber-matematikan yang lebih dari diri kita. Kembali lagi, diskusi tersebut akan
terbentuk karena latar belakang yang sama, yaitu keinginan pemahaman belajar
matematika dengan baik.
Telah terbithttps://community.idntimes.com/preview-article/fRiO0UpfyuzI8XQQy5xkJUtsXwpI4mg1
Telah terbithttps://community.idntimes.com/preview-article/fRiO0UpfyuzI8XQQy5xkJUtsXwpI4mg1
*) Penulis Mahasiswa S2 Universitas Sumatera Utara,
Bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen)
Komentar
Posting Komentar