CERPEN: Aku dan Selang Nozzle
Cerpen...
Oleh: Penny Charity Lumbanraja
Kala itu, matahari pagi masih menyinari hatiku. Tak perlu mengucek mata. Dia pasti ada
dalam padangan mengabur. Itu sudah cukup bagiku. Namun kini, sejernih mata melihat, dia
tinggallah abu. Abu yang menutupi bola mataku. Aku tak bisa melihatnya lagi.
***
Aku selalu merasa sepi. Tetapi tidak bersama dengan Sen. Seperti biasa, memandunya yang
kian beranjak dewasa. Aku semakin bahagia. Setidaknya untuk seusianya, dia sudah bisa
membaca. Sudah bisa pergi ke sekolah sendiri. Sen setia menemaniku dalam kelu.
Aku bergegas lari mengejar waktu. Dengan seragam lusuh membaluti tubuh melewati
rimbunnya hutan jadi alurku menuju sekolah. Angin pagi menerpa lalang di setiap pinggiran
jalan. Truk-truk besar pengangkut gelondong-gelondong tebal, menemaniku melewati medan
jalan yang sempit. Sesekali aku meminggir setiap kali truk melintas. Kalau masih pagi sekali,
hamparan angin menyejukkan nuansa hati. Namun, jika bergerak terlambat sedikit saja, debu
sudah mengikatnya. Tetapi, apa daya. Aku harus menyiapkan kayu api dulu.
Setiap pagi, aku berusaha selalu menghindari. Bagiku, kayu selalu melukaiku. Terkadang Sen
berinisiatif meniup bambunya. Wajahnya penuh kepulan abu kayu. Aku sering tertawa kecil.
“Sudah, bergegas mandi. Nanti kamu bisa terlambat ke sekolah.” Ujarku setiap kali
memandang tapak tangan kecilnya yang sudah mengeras. “Kakak lebih jauh sekolahnya, mari
Sen bantu.” Terngiang lagi, aku semakin menikmatinya memiliki adik kecil ini.
Aku semakin tak sabar sampai ke sekolah. Apalagi hari ini. Sepuluh kilometer panjang
tempuh laluku. Berjalan kaki membuat lemakku semakin erat mengikat tulang. Teramat
senang juga kala pagi cepat berlalu berganti siang. Di dalam benakku seraya memanjangkan
langkah kakiku sekiranya bisa tiba lebih cepat di pos.
“Paman!!!” teriakku setiap kali melihatnya dari kejauhan. Dia selalu geleng kepala. Paman
kecilku memegang nozzle terlihat semakin tangguh kurasa.”Banyak gulanya, Pim? Paman
sudah lelah sekali.” Manisnya teh cukup mengawali pagi yang berenergi. Sinar matahari
belum sepenuhnya menunjukkan keindahannya. Tetapi paman sudah bermandikan keringat.
“Masih pagi paman?” Sontakku kaget. “Iya, jam 4 tadi. Untung cepat kami atasi. Mesti selalu
siaga 24 jam. Kalau tidak bahayalah. Bisa-bisa satu kota terbakar.” Aku baku pandang.
Kulitnya hitam seperti matang kurasa. “Sudah-sudah. Pergilah ke sekolah. Jangan terlambat.”
***
Tidak terlalu jauh dari simpang jalan pos. Aku tempuh 1 kilometer di bawah teriknya sinar
matahari. Hanya lima menit saja sambil berlari kecil. Dari kejauhan, aku seperti melihat ayah.
Membuatku berjalan lebih cepat. Jantungku berdegup kencang sekali. Kukedipkan mataku
berulang. Bayangannya saja, gumamku menghibur diri lagi. “Paman!!!” Teriakku kencang
bergejolak riang. Senang setiap melihatnya tak bertugas. Aku berharap paman selalu ada.
“Pim. Paman baru saja mencuci gelas. Sudah makan siang?” Paman sangat peduli padaku.
Lebih tepatnya kami berdua. “Sudah Paman.” Jawabku. Namun, mataku tertuju pada nozzle.
“Ada kabar dari Ibumu?” Memeragakan seseorang bertelepon dengan jari-jarinya. Bagaimana
aku tahu Paman?” Ujarku singkat seraya tak acuh.
Meskipun hatiku sakit sekali terbumbung rindu. Tetapi dia jauh di sana untuk beradu
menghidupi kami. “Ah, kakakku itu. Tidak terlalu jauh sampai ke pulau ini. Mestinya dia
sempatlah mengabari. Apa dia tidak rindu sudah 5 tahun tak pulang bertemu.” Setiap kali
paman berbicara tentang ibu, perasaanku bergetar.
Aku memalingkan muka membendung sedu. Bagai duri di dalam daging. “Paman, usah
bicarakan ibu. Cepat ajari aku saja.” Tak peduli karena tak membawa pakaian ganti. Aku
tetap senang karena giliranku hari ini memegang selang nozzle. Sesuai jadwal. Beruntungnya,
paman selalu sabar memandu. Meskipun dilihat petugas yang lain, seolah-olah aku hanya
bermain bercanda. Membuang-buang air saja.
Sesekali aku melihat paman ditegur petugas lain. Namun, Paman tetap saja memandu.
Membuat simulasi api kecil-kecilan untuk kupadamkan. Tentunya aku jauh sangat amatir.
Jika tuas selang terlalu lebar terbuka, curah air tak dapat terkendali. Baju sekolahku basah
semua. Tidak perlu risau. Seragamku pasti selalu kering setiap sampai di rumah. Habis
dikeringkan angin. Di pulauku selalu panas dan gersang. Angin deras berembus dari segala
arah. Banyak hutan jadi rawan sekali terbakar. Namun, cadangan air kami selalu ada.
***
“Sudah satu jam, Pim. Paman juga harus mengisi ulang air lagi.” Aku mengerti. Aku terlihat
mulai mahir katanya. Tetapi, apa daya. Paman tidak suka kalau aku jadi lupa belajar. Hari
mulai sore. Paman menyuruhku bergegas pulang. Semakin malam semakin berbahaya di
jalan. Kalau tidak patuh terkadang membuatnya marah.
Aku pun segera mengangkut ceret teh yang sudah kosong. Di bawahnya telah disisipkan
beberapa lembar uang. Untuk ukuran 22 gelas kecil, enam puluh enam ribu rupiah sangat
cukup untuk kebutuhan hidup aku dan Sen.
Kalau matahari masih terlihat, aku masih bisa menahan. Namun, jika sudah terbenam, aku
dalam kekalutan. Dadaku meletup dalam desiran mimpi kosong tak berarti. Aku
melambankan langkah kaki dalam lintasan sepi.
Tak ingin tiba lebih awal. Kalau di rumah, jangan sampai Sen melihatku sedih. Sulit untuk
mengungkap suasana hati. Selalu terngiang kata-kata ayah. Keramaian selalu ada dalam bilik
hati, meskipun di rumah begitu hening.
Kalau jam-jam segini, Ibu pasti sudah mengayunkan sutilnya. Ayah juga tak mau kalah.
Bantu rebus air dalam tungku dengan ranting-ranting keringnya. Kala itu, Sen masih sangat
kecil. Ayam-ayam kecil juga ikut meramaikan. Menggelitik kakiku juga turut mendekat.
Sungguh asri.
“Kak Pim.” Sen berlari menyambutku dengan girang. Dia begitu giat. Kalah banyak dengan
aku. Selalu ada saja buku dalam dekapnya. “Mengapa menangis kak? Matamu memerah kak,
rambut dan pakaianmu basah semua. Awas sakit kak.” Sen selalu heran.
“Aku baru saja memegang nozzle. Baju dan rambutku basah. Air membuat mataku merah.”
Sen selalu percaya. “Kak, mengapa kau selalu pulang terlambat di hari rabu dan kamis?” Aku
selalu lama termangut. Sen percaya lagi. Besok seperti itu. Bertanya lagi.
***
Hujan mengguyur deras. Beruntung aku sudah tiba lebih awal. Terkadang kepalaku menoleh
pada celah angin jendela. Memantau hujan. Hujannya awet tak kunjung henti hingga
menjelang petang. Meski tinggal gerimis kecil saja, aku tetap mau menyinggahi pos
pemadam tempat paman biasa bertengger.
Dengan sebuah plastik kresek menutupi kepalaku, aku menancapkan langkah. Setibanya di
pos, aku tidak melihat paman. Kulihat Noozle membujur di hadapanku. Aku mendekat.
Kulihat juga beberapa petugas sibuk mengisi air ke dalam tangki armada.
“Hujan, Pim. Tidak bisa hari ini. Nanti kamu bisa sakit.” Paman sontak menegur. “Iya?” Aku
terkejut dan ragu. Sepertinya memang tidak bisa hari ini. Tetapi, seolah-olah ada roh yang
mendorongku. Aku tak mampu membedakannya. Kerinduan, obsesi dan cita-cita.
“Sudah cukup. Besok hari masih ada. Hari ini ambil ceret saja, kamu cepat pulang.” Paman
mulai marah dan mendesakku karena hari mulai gelap menggulita. “Sebentar saja Paman.”
Aku kekeh. Kening paman mulai mengerut. Dia menarikku menjauhi selang.
“Paman susah, Pim. Jangan begini. Jangan terus memaksa diri. Kamu tidak bisa menjadi
pemadam. Kamu masih terlalu dini. Dan kamu anak perempuan.” Mendengar itu membuatku
patah. Hujan turut membendung kesedihan hati. Luka di hati semakin meradang.
Aku kehilangan keseimbangan diri. Seperti angin menghardikku keras. Membuatku
terperangah. Secara tidak langsung paman menganggap semua yang kulakukan tak bermakna.
Hanya sia-sia. Hanya mencari penghiburan.
“Pim, jangan buang-buang waktu percuma. Kenapa tidak belajar di rumah saja. Ingat ibumu
sampai jadi pekerja migran. Kamu bukannya bodoh. Juara selalu di kelas. Janganlah seperti
ini. Kamu bisa menggapai lebih. Ayahmu pasti akan sedih.”
Aku hanya terdiam. Berbalik arah dalam pukulan. Hatiku semakin meroyak. Aku berjalan
pulang dengan penuh hampa hening. Gesekan dedaunan lalang seraya menyelipkan sesuatu.
Seperti roh ayah menjagaku selalu, menggiringku tiba.
Teringat senyuman ayah selalu terngiang, tetap membekas. Menyambut kami dalam
kekhawatiran yang melanda setiap kala dia bertugas. Hati selalu resah setiap mendengar
bunyi sirene armada melintasi jalan rumah. Hari Rabu dan Kamis adalah shift-nya. Tak
banyak waktu aku berbincang dengannya. Saat itu, aku masih belia. Usiaku masih 12 tahun.
Hari itu tidaklah jadwal ayah bertugas. Kebakaran hutan tiba-tiba terjadi karena perbuatan
ceroboh sekelompok orang. Rasa pengabdiannya mendorong ayah menggantikan rekannya
yang sakit sebagai wakil komandan. Harus cepat tanggap untuk menangani api yang sudah
menjalar. Sudah banyak spesies hutan hitam terpanggang. Sungguh disesalkan.
Baju tahan api hanya terdiri beberapa saja. Cukup untuk 2 orang. Petugas yang menggunakan
baju hanya yang bertugas di depan. Seharusnya bukan ayah. Terkadang aku teriak
menggeram sendiri dalam hati. Namun, karena semangat patriotnya, ayahku mau memakai
baju tahan api. Demi mencari korban lain, ia berjalan lebih jauh dan terjebak dalam api hutan.
Api merah yang berkobar besar. Beberapa waktunya, api memang padam. Namun, yang
tersisanya hanyalah abu. Tetapi, mengapa harus ayahku.
Tak bisa kubayangkan, saat-saat ia mengingatku dalam jebakan api. Mungkin dia berteriak
memanggilku. Memanggil kami semua. Menangis dalam api. Namun, panas mengeringkan
air matanya. Panas yang luar biasa membakar dagingnya. Sama seperti makhluk hutan lain.
Mengapa dia sampai begitu? Begitu besarnya ancaman pekerjaan, resiko dan tanggung jawab
yang diembannya. Kemanakah ia pergi? Aku mencari tak jua kutemukan. Selamanya dalam
hidupku. Hatiku teriris. Hancur berkeping. Dalam gasak-gasakan darahku, aku selalu
berusaha bersembunyi. Sembunyi dari bahana rindu padanya.
Aku tidak menyangka. Aku terlalu cepat kehilangan ayahku. Tak banyak bergurau
dengannya. Tak tahu apa keinginannya padaku. Tetap aja, aku selalu ingin. Sesuatu dapat
menuntutku. Untuk menjadi seorang yang seperti apa baginya. Gelar seperti apa yang
menjadi hasratnya. Gelar mentereng membanggakan hatinya. Rinduku bukan kepalang.
Ayah tak lagi di sisiku. Namun, jiwa pengabdianmu mampu kulihat. Membuatku terpana.
Kini aku tahu, ternyata itulah mimpimu. Aku pun merasa, kau mendengarkan mimpi besarku
juga. Bersama meraih mimpi kita. Membangun negri ini dengan cinta.
Sadar akan salahku memandang apa yang dikorbankan ayah. Aku terlalu egois pada
keinginan hatiku. Aku tersita dalam dukaku. Bahkan Sen yang masih dini, sudah berani
mengambil langkahnya. Aku membiarkannya berjalan sendiri. Sen sudah bisa mandiri.
Hujan menyucikan benakku. Mengapa rupanya kalau seorang perempuan. Aku akan tetap
kukuh pergi ke pos lagi. Saat ini, yang kupikirkan hanyalah menjadi seorang pemadam.
Seseorang yang berada di depan dengan berani. Memegang selang dengan tangan-tangan
lihai. Sama seperti yang dilakukannya, ayahku. Namun, aku berbuat tidak hanya karena ayah.
Tetapi, karena mereka yang memanggilku, dalam api yang membara. Jika orang lain ragu
memandang, aku tak acuh. Mereka tak mengerti. “Kau tahu bagaimana rasanya terjebak
dalam api?” Tekadku. ***
Komentar
Posting Komentar