CERPEN: Hati dan Tangan Tapak Kuda


ENGKAU bahkan belum mengenalnya. Josephy. Gadis kelahiran Tapanuli. Berdarah Batak. Ia merantau ke kota, bukan untuk melalang buana. Tetapi, untuk melanjutkan sekolah.
Tinggal bersama keluarga dari Ibu, namun, ia merasa seperti tak bersama keluarga. Kala orang berpikir bisa hidup bebas dari pandangan orangtua. Tetapi, nyatanya bagi dia tidak. Semua tidaklah seperti yang dinilai menurut pandangan orang lain. Setiap hari makan hati, bukan hanya melihat ulah beringas paman dan bibinya, anak-anaknya juga mengikuti perilaku kedua orangtuanya itu.
Bahkan anak-anak tersebut dipengaruhi untuk membenci saudaranya. Semua bermula dari kesalahpahaman yang tak beralasan. Waktu itu, musimnya hujan di pertukaran waktu sore menjelang malam. Hujan mudah ditebak datangnya kala itu.
Bibi menjemur pakaian yang menggunung bak tak mencuci selama seminggu. Padahal ia mencuci pakaian sekali dua hari. Dasar semuanya boros menggunakan pakaian. Kala itu Hari Minggu. Rutinitas bisa ditebak, waktunya untuk melalang buana.
Kira-kira pukul 11 pagi selepas bersih-bersih rumah, sekeluarga pergi menghabiskan waktu bersama entah kemana. Kondisinya saat itu, mereka tahu bahwa Josephy mengurung diri di kamar yang terpisah dengan rumah itu. Dia seperti orang lain bagi mereka.
Mengetahui bahwa mereka pergi dari rumah, Josephy pun membuka pintu, membiarkan udara luar memasuki kamarnya yang berukuran 3 kali 4 meter persegi tersebut. Ia pun memutuskan untuk pergi mengerjakan tugasnya yang tertunda.
Ia pergi keluar rumah. Menempuh jarak ratusan kilo. Jarum jam kira-kira menunjukkan pukul 2 sore, cuaca masih sangat terik, jadi ia merasa tenang saja dan tidak perlu khawatir jika rumah ditinggal, toh lingkungan rumah tersebut tergolong aman.
Waktu berjalan hingga hamparan awan menghitam dan menggelap, tanda hujan pasti turun. Gundah gulana di dalam hatinya sambil mengendarai motornya yang mulai melambat akibat desakan pengemudi lain yang mengejar waktu untuk segera tiba di rumah karena takut dibasahi oleh air hujan.
“Ah, mengapa aku tidak berinisiatif mengangkat pakaian mereka, matilah aku”. Sejenak kemudian ia pun berpikir menegaskan di dalam hati.
“Ah, pasti mereka sudah pulang. Kelewatan sekali Paman kalau anak-anaknya besok sekolah tetapi belum pulang juga, ah tak tau lah”.
Sia-saja jika membalap, tetap tak terkejarnya untuk mengangkat pakaian yang dijemur. Hujan pun turun dengan derasnya. Dengan mantel biru yang membungkus tubuh dan tasnya, ia pun tiba di rumah. Ternyata, mereka belum pulang juga.
Josephy melihat pakaian yang dijemur oleh bibi telah basah semua. “Sudahlah, apapun yang terjadi biarlah malaikat yang melindungiku,” gumamnya dengan penuh serah dan terasa bahwa darah menaik ke kepalanya.
Hal itu ia katakan karena ia tahu saking beringasnya paman jika terpancing marah. Selepas menanggalkan mantel dan meniriskannya di atas sepeda motornya, ia pun memasuki kamar tempat berpelipur lara.
Tak lama kemudian, klakson mobil berbunyi di depan. Hiruk-pikuk suara Paman dan Bibi terdengar di luar. Suara mereka mampu menandingi hujan yang deras tersebut. Suara mereka berkumandang di telinganya. Terdengar olehnya sebuah hinaan yang mengacu padanya.
“Masa mereka tidak bisa melihat mantelku basah, bodohnya”, gumamnya dengan nada pelan. Percuma saja untuk menjelaskan kepada mereka. Yang mereka tahu adalah pergi dan pulangnya, mereka hanya melihat aku di rumah”, gumamnya kembali.
Masih terdengar suara gaduh dan menggeram dari mereka, Josephy pun kesal di dalam hati. “Dasar orang-orang rumit dan bodoh. Masa masalah kecil pun diperbesar. Toh besok ada matahari, kalau besok tidak ada matahari, Tuhan yang menciptakan matahari. Intinya pasti akan ada matahari, mengapa mereka harus khawatir. Masih masalah pakaian basah saja sudah menggila semua,” kesalnya.
Ia hanya mendiamkan diri di kamar dan tidak perlu mencari pembelaan dengan penjelasan. Karena semuanya sia-sia saja. Sebenarnya, semuanya bukan masalah pada pakaian yang basah itu.Dasarnya mereka memang sudah benci padanya. Tak jelas maksud arah amarahnya.
Setiap terlihat mukanya di hadapan mereka. Piring dan gelas kerap porak-poranda. Dalam seminggu, yang semula selusin tinggal sebiji. Rumah itu menghasilkan beling kaca saban hari. Hidup seperti berada pada simpul terasing.
Hendak melembutkan hati untuk berbaur kepada mereka, namun sia saja bila tak tulus. Karena makna hipokrit sama dengan menurunkan harga diri. Jadi, lebih baik apabila tak suka ditunjukkan saja. Tetapi, lebih baik tak menunjukkan apa-apa. Biarlah kebencian milik mereka saja. Toh, tidak merugikan untukku.
Meskipun begitu, lama-lama tak tahan juga. Hati ingin meninggalkan rumah tersebut dan melepaskan beban untuk menghabiskan waktu bersama kakek yang sudah sangat tua. Kakek tinggal di rumah itu.
Kakek yang sudah berusia 82 tahun tinggal di rumah itu bersamanya juga bersama keluarga Paman. Hati ini tidak sanggup untuk meninggalkan kakek bersama dengan orang-orang itu. Karena kakek juga sakit hati terhadap ulah anaknya, menantunya dan cucu-cucunya terhadapnya.
Tetapi, kakek tidak punya daya untuk mengusir anaknya yang menyusahkannya di usianya yang sangat renta. Jadi, Josephy merasa bahwa dia penghibur hati kakeknya. Ia pun berjuang untuk bertahan. Belajar bahwa tidak cukup tubuh ini kebal, hati ini juga mesti kebal.
Apapun dilakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap kakek dan rumah kakek. Mencabut rumput, menyapu halaman, memilah sampah-sampah dan membakarnya dan pekerjaan lain di pagi hari bahkan mencuci piring bekas makanan-makanan mereka di saat si Bibi mengantar anak-anaknya ke sekolah.
Rutinitas pagi yang ia kerjakan hingga tapak tangannya mengeras. Josephy tipikal gadis yang tidak suka diperintah. “Aku ini anak raja, kenapa dia memerintah anak raja”, begitulah prinsipnya.
Ia lebih baik berinisiatif sendiri dan tidak suka memerintah orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Lebih baik mengajak dan meminta bantuan terhadap orang lain. Tujuannya toh sama saja, tetapi caranya yang berbeda.
Dengan cara mengajak dan meminta bantuan terhadap orang, berarti ia sedang mengizinkan seseorang untuk melayani, alias berbuat baik terhadap yang lainnya. Jadi, jelas caranya berbeda. Tetapi, semuanya tak berguna bagi keluarga paman. Dasarnya mereka memang sudah benci padanya.
Tetapi, masa peduli.  Setelah bagiannya dikerjakan terhadap rumah, seolah-olah ambil langkah kelayapan baik pagi, siang, sore hingga malam, ia tidak berada di rumah. Ia menghindar saja dari pandangan orang rumah. Setiap harinya di saat pagi, seperti kegiatan anak sekolah, membopong tas yang berat membawa buku yang dapat dibaca dan pergi melarikan diri bersama motornya. Rumah hanya ditempati untuk tidur malam dan mandi saja.
Kalau orang bertanya kepadanya,” Jo, dimana rumahmu? Ayo kita mengerjakan tugas di rumahmu saja ” Ia hanya menjawab, “Itu bukan rumahku, kalau kalian mau belajar di sana, kalian harus punya hati sekeras tapak kuda, supaya tidak mudah tertancap,” begitulah sahutnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM