CERPEN: Pria dengan Dua Celana
Oleh: Penny Charity Lumbanraja
Asal kalian tahu saja ceritaku masa mudaku, Nak”. Begitulah tutur Sharon, seorang pria parobaya mengawali cerita kisah pahit hidupnya kala masih berusia muda sambil memadupadankan sesendok teh gula pasir ke dalam larutan teh cinamon.
“Kalian panggil opunglah sama tulang Bapakmu ini, kami dahulu bersama menderita mengecap pahitnya bersekolah tanpa dibiayai orang tuaku, tetapi nasibku lebih pahit daripada opungmu ini.”. Tawa kecil Pak Sharon kepada keempat anaknya yang duduk sambil menikmati setiap tenggakan minuman berkarbonisasi yang datang berkunjung ke rumah opungnya.
Usia Pak Sharon dengan tulangnya Horas tak jauh selisihnya. Kira-kira 2 tahun saja. Horas menjadi saksi perantauan Sharon, begitu juga sebaliknya. Tangan-tangan serta intensi-intensi yang tulus keduanya berpadan menjadi satu. Ceritanya diawali dengan meninggalnya ibu yang melahirkan delapan bersaudara itu, Sharon adalah anak ketiga dari delapan bersaudara tersebut. Tetapi, salah satu adiknya yang keempat pernah terjatuh dari pohon saat memanjat pohon jambu yang berada agak jauh dari rumah tempat berhuni. Menjadi sakit, mungkin ada yang memar tulangnya, karena jatuh dari ketinggian satu meter lewat kira-kira dan tidak ada dana untuk mungkin hanya seribu, sahutnya dengan nada kesal. Karena itu, meninggal adiknya pada usia yang masih sangat muda. Tujuh tahun teringatnya. Lalu, adik bungsunya yang terakhir meninggal karena sakit demam tinggi.
Usia Pak Sharon dengan tulangnya Horas tak jauh selisihnya. Kira-kira 2 tahun saja. Horas menjadi saksi perantauan Sharon, begitu juga sebaliknya. Tangan-tangan serta intensi-intensi yang tulus keduanya berpadan menjadi satu. Ceritanya diawali dengan meninggalnya ibu yang melahirkan delapan bersaudara itu, Sharon adalah anak ketiga dari delapan bersaudara tersebut. Tetapi, salah satu adiknya yang keempat pernah terjatuh dari pohon saat memanjat pohon jambu yang berada agak jauh dari rumah tempat berhuni. Menjadi sakit, mungkin ada yang memar tulangnya, karena jatuh dari ketinggian satu meter lewat kira-kira dan tidak ada dana untuk mungkin hanya seribu, sahutnya dengan nada kesal. Karena itu, meninggal adiknya pada usia yang masih sangat muda. Tujuh tahun teringatnya. Lalu, adik bungsunya yang terakhir meninggal karena sakit demam tinggi.
“Kalian tahulah, suhu di kampung Bapakmu ini sangat dingin, adikku tak kuat darahnya pada suhu dingin kampung kita, mau bagaimana Bapakmu perbuat”. Konon, bukan hal yang jarang bayi di kampung banyak yang meninggal karena suhu dingin.
“Karena itu, seringlah opung borumu menyendiri, suka sekali menangis sendiri tidak di hadapan kami. Miskin kali dulu hidup kami. Dulu opung dolimu tak capai mengurusi kami, cukup digantungkan saja pukul tilam berbahan rotan di dinding rumah kami yang berbahan kayu”, ujarnya meyakinkan keempat anaknya yang berkerut kening menunjukkan respon tak sangkaan.
Kala itu Sharon masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Teringatnya di kelas 6 SD. Sedangkan Horas duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama untuk sebutan masa kini. Kira-kira pada kelas tahun pertama. Sharon kelamaan masuk sekolah. Sekolah bukan menjadi prioritas utama baginya. Tetapi karena bersama menjalani pahitnya hidup di kampung membuatnya bersekolah menjadi tempat kedua untuk bermain sambil belajar. Setiap hari bangun pagi pukul lima. Mesti ambil air dari pancuran yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Kira-kira satu kilometer jauhnya. Medan perjalanan tidak mulus, melainkan dipenuhi batu dan sedikit terjal dan landai untuk dilalui. Asal berangkat dari rumah, kami membawa dua ember kosong yang cukup untuk mengangkat masing-masing lima belas kilogram air pegunungan. Kalau dari pancuran berhasil ditampung agak penuh per tiap ember. Tetapi, sela tiba di rumah sudah tidak penuh lagi. Sulit sumber air bersih kala itu untuk memasak. Mestilah ditampung dari pancuran kecil dibalik gunung yang letaknya dibelakang rumah mereka. Sesudah itu barulah bisa direbus singkong yang dihasilkan dari ladang dan digantung di teras belakang dekat tungku perapian tempat merebus air supaya tidak dicomot tikus liar. Singkong rebus dibubuhi garam supaya ada rasanya.
“Darimanalah gizi kalau setiap pagi makan singkong rebus, Pak”, tanya Samuel kepada Bapaknya.
”Bah, ga ada kami pikirkan kami sampai ke gizi itu, entah apapun gizi itu aku tak tahu dulu, yang penting perutku kenyang dan bertahan sampai siang sepulang dari sekolah”, ujarnya. Pergi ke sekolah berjalan kaki melewati gunung yang satu dengan gunung yang lain beramai-ramai. Sebelum pergi ke sekolah sudah tidak berjumpa dengan Bapak untuk berpamitan, karena pagi-pagi sudah bergegas hendak mengurusi ladang tanaman kopi yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Pulang sekolah pun sudah sore langsung bergegas membawa lembu ke padang lalang supaya bisa makan. Disitulah Sharon baru bisa mengerjakan tugas dengan leluasa. Kalau belajar matematika, instrumen yang digunakan adalah salah satunya batang lidi yang dipatahkan masing-masing berdimensi 10 sentimeter panjangnya untuk membantunya bertambah-tambah dan berkali-kali. Begitu juga berkurang-kurang dan berbagi-bagi.
“Jadi kami gak hanya tahu kali-kali sama tambah-tambah, Nak. Kami juga tahu bagi-bagi sama kurang-kurang”, tawa Sharon kepada keempat anaknya untuk menghibur diri dengan tawa kecilnya. Kalau belajar mestilah siang hari atau jangan terlalu sore, karena sulitnya sumber pencahayaan di malam hari. Hanya mengandalkan sumbu kecil dari lampu teplok yang sudah usang. Itu pun lampu teplok dibuat sendiri. Dalam perjalan waktu yang berubah, tiba berakhirnya masa SMP. Sharon harus melanjutkan mimpinya dan merantau ke kota mengikuti jejak Horas yang sudah lebih dulu pergi merantau untuk melanjutkan SMA di kota. Hingga ia berjumpa dengan suatu keluarga kecil yang mau menampungnya dan mengangkatnya menjadi anak asuh. Keduanya hidup terpisah dan mengambil langkah perjuangan yang digariskan masing-masing ke keduanya. Mengingat pilunya kehidupan di kampung, berat rasa meninggalkan kedua orangtua yang sudah tua dengan urat-urat nadi yang tercuat dan adik-adik yang masih kecil tak terurus. Setiap hari tinggal bersama orang tua asuh dan yang tak sedarah. Mencuci pakaian, memasak, mengurusi anak-anaknya dan sambil menjadi teman belajar bagi mereka. Seorang pria kurus yang mengerjakan semua pekerjaan ibu rumah tangga. Ibu asuh hanya perintah sana-sini saja. Kata-katanya yang cukup memahitkan hati. “Jangan menguntung saja tinggal disini”, terekam di hatinya. Beda dengan perlakuan ayah asuhnya yang tidak begitu banyak menuntut dari dirinya.
“Yang penting ada kawan anak-anakku belajar”, itulah pemikiran rasionalisme sesama kaum pria.
Di dalam benaknya terus terlintas, “Adik-adikku yang tak sedarah kubimbing disini, bagaimana dengan nasib adik-adikku di kampung?”, tanya di dalam hati sambil mendongak memandang langit-langit yang dipenuhi bintang gemerlap kala di malam hari. Sehingga ia bersikukuh di dalam hati untuk menyekolahkan semua adik-adiknya kala ia sukses. Dengan dua buah potong, celana cuci basah kering tidak membatasi diri untuk menyebrangi, mendedikasikan dan membaurkan diri menjelajahi samudra kehidupan dengan perahu-perahu yang berbeda. Sekalipun kadang takut terjebak di dalam doktrin dan buaian pertemanan yang kadang menyesatkan. Di dalam benaknya terpikirkan bahwa setiap perahu pasti ada pelampungnya. Cerita pengalaman yang sehari-hari yang dijumpai adalah pilar yang memberi pelajaran sehingga membuatnya mampu bertahan hingga masa kini, perahu kecil yang memaksa harus mampu bertahan di atas gelombang-gelombang yang tidak kecil baginya. “Si Horas inilah jadi temanku menangis”, ujarnya.
Di dalam benaknya terus terlintas, “Adik-adikku yang tak sedarah kubimbing disini, bagaimana dengan nasib adik-adikku di kampung?”, tanya di dalam hati sambil mendongak memandang langit-langit yang dipenuhi bintang gemerlap kala di malam hari. Sehingga ia bersikukuh di dalam hati untuk menyekolahkan semua adik-adiknya kala ia sukses. Dengan dua buah potong, celana cuci basah kering tidak membatasi diri untuk menyebrangi, mendedikasikan dan membaurkan diri menjelajahi samudra kehidupan dengan perahu-perahu yang berbeda. Sekalipun kadang takut terjebak di dalam doktrin dan buaian pertemanan yang kadang menyesatkan. Di dalam benaknya terpikirkan bahwa setiap perahu pasti ada pelampungnya. Cerita pengalaman yang sehari-hari yang dijumpai adalah pilar yang memberi pelajaran sehingga membuatnya mampu bertahan hingga masa kini, perahu kecil yang memaksa harus mampu bertahan di atas gelombang-gelombang yang tidak kecil baginya. “Si Horas inilah jadi temanku menangis”, ujarnya.
Hingga suatu waktu, Ia dipertemukan dengan salah satu ketua divisi tempat ia melaksanakan praktek lapangannya. Bapak itu tertarik dengan kejeliannya memperkirakan kekuatan bahan konstruksi tempat ia melaksanakan prakteknya, padahal dia masih sangat muda untuk mengetahui ilmu tersebut. Sehingga ia direkomendasikan untuk melanjut sekolah di jurusan Teknik Sipil dan karirnya terus memuncak hingga menduduki jabatan sebagai senior supervisor di perusahaan konstruksi beton salah satu milik negara.
Kesuksesan adalah milik seseorang. “Yang kuperoleh adalah kenangan-kenangan bersama yang detailnya selalu kukenang bersama pula”, begitulah ujarnya.(*)
How to make money from betting on sports – How to make money
BalasHapusLearn how to make money betting on sports. How to make money betting on sports. How to งานออนไลน์ make money from betting worrione on sports. How to make money from betting on sports. kadangpintar