OPINI: Medan, Kota Termacet Keenam di Indonesia
Harian
Kompas (2018) mencatat, Medan menempati peringkat enam kota termacet di
Indonesia. Durasi kemacetan mencapai 42 jam dalam setahun. Itu artinya, warga
Medan telah menghabiskan umurnya selama dua hari penuh hanya di jalanan. Konyol
sekali!
Kita
juga saksikan, pada jam-jam sibuk kerja, jalanan kerap diwarnai caci maki,
umpatan yang diselingi riuhnya klakson dan deru mesin kendaraan. Belum lagi
udara yang cemar oleh polusi. Suasana itu tentu menambah tingkat stress
masyarakat pengguna jalan.
Kemacetan
diperparah lagi dengan pertumbuhan angka pengguna kendaraan, baik roda dua
maupun roda empat. Volume kendaraan mengalahkan jumlah penduduk. Situs
Republika.co.id (16/4) mencatat, jumlah penduduk kota Medan, sekitar 2,5 juta
sementara jumlah sepeda motor mencapai 2,8 juta unit. Sedangkan rasio jumlah
kendaraan pribadi dengan kendaraan umum 97,8 persen berbanding 2,2 persen.
Artinya, kendaraan pribadi menyesaki jalanan umum.
Data
ini menjelaskan secara gamblang, fenomena sesaknya jalan raya kita oleh mobil
mewah, yang penumpangnya rata-rata satu dua orang. Erry, Bagian Marketing
Pertamina menyatakan, pemakaian bahan bakar minyak di Sumut mencapai 5,222 kL
perhari. Kebutuhan konsumsi ini terus meningkat. Kalau pengguna mobil hanya
seorang, konsumsi setiap liter bensin atau solar tentu sangat boros.
Entah
sampai kapan persoalan kemacetan ini berakhir. Bisnis jual mobil seakan tiada
matinya. Perusahaan raksasa terus berkompetisi memproduksi kendaraan baru.
Angka penjualan dipastikan terus membengkak. Dan sudah pasti,
kendaran-kendaraan itu harus berakhir di jalanan. Sementara panjang dan lebar
badan jalan nyaris tak pernah ditambah. Sebelas dua belas dengan usaha
membangun akses transportasi massal. Sampai saat ini masih sebatas rencana,
yang entah kapan diwujud-nyatakan.
Barangkali,
lima atau sepuluh tahun lagi, ketika populasi terus bertambah, jumlah kendaraan
membengkak tetapi infrastruktur jalan tetap, barulah kita sadar. Sekali warga keluar
rumah dengan membawa motor atau mobilnya masing-masing, jalanan akan menjadi
lautan kendaraan. Kemacetan menjadi santapan harian, tingkat stress meningkat.
Dan bisa jadi, tindak kriminalitas juga makin kompleks.
Belum
lagi bicara soal buruknya drainase. Sekali kita memasuki musim penghujan, air
menggenangi jalan raya. Di beberapa titik di Kota Medan berubah menjadi kolam.
Kendaraan terjebak banjir. Mesin berpotensi rusak, aktivitas harian terganggu
dan pertumbuhan ekonomi terkendala.
Harus
kita akui, sulit betul mengharapkan persoalan kemacetan tuntas di Kota Medan
ini. Selama masyarakatnya enggan memakai kendaraan umum, dan pemerintah terus
menunda pembangunan Light Rapid Transit (LRT) atau kereta api ringan dan Sistem
Transportasi Massal atau Mass Rapid Transit (MRT), kemacetan akan terus
menghantui.
Masterplannya
sudah ada. Sekarang bagaimana Pemko Medan bisa mengeksekusinya. Dan tentu saja,
masyarakat tidak boleh tinggal diam. Kita musti ikut berkontribusi. Salah
satunya dengan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan mulai beralih ke
angkutan umum. Dengan cara itu, kita tak lagi hanya menggerutu, tetapi sudah
turut menyumbang solusi konkret.
Jika
angka kendaraan pribadi berkurang di jalan raya, badan jalan akan terasa lebih
longgar. Arus lalu lintas menjadi lancar, yang pada gilirannya efektif menekan
tingkat stress pengguna jalan.
Persoalannya,
sudikah?
*)
Penulis adalah Mahasiswa S-2 Universitas Sumatera Utara, Penerima Beasiswa dari
Tanoto Foundation dan bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
Telah terbit di https://www.kompasiana.com/pennylraja/5c0c8e20677ffb563d7847b3/medan-kota-keenam-termacet-di-indonesia pada tanggal 9 Desember 2018
Telah terbit di https://www.kompasiana.com/pennylraja/5c0c8e20677ffb563d7847b3/medan-kota-keenam-termacet-di-indonesia pada tanggal 9 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar