OPINI: Ketika Digitalisasi Menggeser Peran Manusia
Ketika Digitalisasi Menggeser Peran Manusia
Penny Charity Lumbanraja
Perkembangan zaman melandasi munculnya inovasi kecerdasan buatan. Kemampuan serba standar sudah menjadi hal yang biasa saja. Dampak digitalisasi, di satu sisi pekerjaan manusia dapat terbantu, tetapi di sisi lain peran manusia tak lagi dibutuhkan.
Beberapa organisasi telah melakukan pengurangan tenaga kerja demi meningkatkan efisiensi biaya. Para tenaga kerja telah disesuaikan dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Selama masih bisa dipangkas, hal itu akan dilakukan. Pekerjaan yang bisa melibatkan sistem melatari SDM tak lagi dibutuhkan. Alhasil, penawaran kerja semakin sempit diakibatkan perusahaan menggantikan peran pekerja dengan sistem digital.
Segelintir kasus di atas sungguh tak mengherankan lagi. Sebelum adanya kecerdasan buatan, pun masyarakat telah diberikan alarm betapa teknologi membuat semakin terbatasnya mendapatkan pekerjaan. Bagaimana bila sistem digital mulai merembes di dunia pendidikan?
Ceritanya seperti ini, guru tak lagi khawatir untuk merepresentasikan bahan pembelajarannya secara praktis. Guru-guru masa kini telah mengkloning cara belajar modern untuk dipaparkan kepada muridnya. Beberapa pembelajaran dapat memanfaatkan sebuah aplikasi untuk memberikan pemahaman yang lebih paripurna.
Guru matematika tak lagi sulit ketika menggambarkan sebuah kurva atau grafik semacamnya secara manual. Sehingga tak lagi menjadi persoalan ketika guru tidak pandai menggambarkan detil kurva. Mereka hanya perlu sinkronisasi teori dengan sistem digital. Luarannya, siswa menjadi lebih mudah belajar tanpa memakan waktu yang lama dalam proses tersebut. Jikalaupun siswa tak benar-benar paham, mereka dapat berselancar dengan menggunakan jaringan internet untuk memperkuat pemahamannya pada teori tersebut.
Di dunia pendidikan, siswa tidak begitu khawatir bila guru tak memberi penjelasan secara utuh. Sama halnya guru dapat menganjurkan siswanya untuk belajar mandiri dengan memanfaatkan teknologi yang telah ada. Sistem digital semakin lama menjangkau kebutuhan siswa di sekolah. Dan siswa semakin lama menyenangi digital karena dapat mempertajam pencapaian belajarnya.
Betapa digitalisasi sangat memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk menunaikan pekerjaannya bahkan untuk seorang peserta didik. Pemanfaatan sistem digital tak bisa disangkal yaitu terwujudnya hal-hal yang menguntungkan.
Sistem digital dianggap menjadi jawaban solutif serta inovatif untuk mendukung daya saing ekonomi Indonesia. Pemerintah bekerja sama dengan para stakeholder termasuk masyarakat untuk mendongkrak pertumbuhan negara dengan memanfaatkan sistem digital. Hal ini dibenarkan karena digitalisasi sangat berkontribusi besar untuk mendongkrak pemulihan ekonomi nasional. Terkhususnya selama hingga pasca pandemi.
Pemerintah meramu Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 untuk mendukung visi Indonesia Emas Tahun 2045. Sebagaimana kita ketahui pada masa itu merupakan masa jaya-jayanya negara ini akibat bonus demografi. Betapa momen ini sangat berharga karena era bonus demografi merupakan fenomena langka sebab hanya terjadi sekali dalam seratus tahun perjalanan negara Indonesia.
Tantangan-tantangan seperti ini akan mendesak pemerintah menggeser sistem yang lama dengan sistem serba modern. Apalagi sejak pandemi Covid-19 dan kemajuan teknologi telah memaksa pemerintah memberlakukan percepatan pemanfaatan teknologi digital. Itu disebabkan sistem digital mampu mendeteksi hingga menjangkau setiap elemen yang dipersoalkan. Setiap sektor akan menggunakan digitalisasi untuk mencari jalan singkat demi mempermudah pengambilan keputusan.
Maka, wajar saja bila ekspektasi semakin tinggi akibat sistem yang digunakan dianggap mendukung. Harapan-harapan seperti akan terjadi penambahan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen, UMKM terdigitalisasi 50 persen, jutaan lapangan kerja hingga ribuan talenta digital bukan menjadi persoalan yang rumit. Semua itu akan direkam dengan baik hanya dengan memanfaatkan teknologi digital.
Pemerintah
melalui Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian mengungkapkan Indonesia
membutuhkan talenta digital sebanyak 9 juta orang untuk 15 tahun ke depan. Data
World Economic Forum (WEF)
memprediksikan bahwa tahun 2025 akan ada 85 juta pekerjaan yang tergantikan
karena automasi. Pekerjaan-pekerjaan itu akan berintegrasi dengan keterampilan
manusia, mesin, dan algoritma. Inilah yang dinamakan kecerdasan buatan. Tentu menjadi
pertanda dibutuhkan kesiapan segera untuk menghadapi era transformasi digital.
Generasi milenial harus memiliki talenta digital yang ditempah sejak dini
karena kelak akan berpotensi sebagai pelaku pasar dalam negeri.
Sinyal-sinyal seperti bisa menjadi sinyal positif tetapi bisa menjadi sinyal negatif bila masyarakat tidak siap berikatkan pinggang. Sinyal positif tentu menjadi mimpi bersama, betapa susahnya bila yang diterapkan malah memperumit pemahaman masyarakat. Artinya masyarakat sepenuhnya belum mampu untuk menangkap momentum ini.
Gelombang teknologi membuat orang yang melek semakin mengikuti arus, tetapi orang yang tidak melek malah diseret oleh arus. Ini akan menjadi kesulitan negara ketika berhadapan dengan masyarakat yang enggan beradaptasi. Masyarakat kesulitan mengadopsi cara baru dimana semuanya telah dihubungkan dengan teknologi digital.
Sudah mulai tampak dimana bermunculan bidang profesi baru yang memerlukan ketrampilan digital. Keterampilan yang mampu menggagas sistem dianggap lebih menarik bagi para progresif. Hal itu disebabkan tuntutan perkembangan zaman yang mengharuskan SDM-nya mampu mengelola sistem dengan mumpuni. Kebutuhan penguasaan teknologi kini menjadi hal krusial.
Kondisi beberapa tahun lalu tentu berbeda dengan sekarang. Arus modernisasi memberikan banyak desakan. Sama halnya organisasi milik pemerintah hingga swasta begitu gencar memberikan pendidikan agar setiap manusianya tidak mengalami ketertinggalan. Ini menjadi kesiapan karena dituntut mampu memanfaatkan sistem digital sebagai bagian utama dari pekerjaan.
Seseorang memiliki kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan teknologi digital. Sama halnya, organisasi manapun juga mengalami kesulitan untuk mencari orang-orang yang telah mempersiapkan dirinya sejak awal. Bentuk persiapannya seperti gencar mengikuti pelatihan, seminar bersertifikat, up-grade pendidikan, atau hal apapun yang meningkatkan nilai dirinya.
Upaya apapun yang berkaitan dengan peningkatan kualitas diri tentulah tidak instan. Itu semua membutuhkan pengorbanan. Jangan sampai sistem tidak lagi membutuhkan andil manusia. Maka, setiap orang harus sigap membekali dirinya masing-masing mulai dari sekarang.
(*) Penulis Bergiat di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
Terbit di Koran Analisa Tgl 10 Juni 2022
https://analisadaily.com/e-paper/2022-06-10/files/mobile/index.html#12
Komentar
Posting Komentar