OPINI: Mempertanyakan Kemerdekaan Kurikulum Merdeka
https://epaper.waspada.id/epaper/waspada-rabu-15-juni-2022/
Mempertanyakan Kemerdekaan Kurikulum Merdeka
Penny Charity Lumbanraja
Penerapan Kurikulum Merdeka (KM) itu sendiri membuat anak harus merdeka untuk menentukan apa peminatannya. Bila anak diberikan kebebasan untuk memilih apa yang dia sukai, maka pertanyaan besarnya ialah apakah sekolah sepenuhnya siap?
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meramu sebuah kebijakan baru mengenai kurikulum yang akan diterapkan di sekolah pasca pandemi Covid-19. KM dicanangkan untuk menggantikan kurikulum darurat yang sempat diterapkan. Kurikulum darurat hanya bersifat sementara dari kurikulum nasional yang sebelumnya berjalan selama pandemi berlangsung.
Melalui Kepmendikbudristek No. 56/M/2022 yang menyatakan tentang berlakunya Kurikulum Merdeka di dalam ini dijelaskan. KM lahir akibat kekhawatiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem terhadap kondisi pendidikan anak selama pandemi yang menyebabkan anak mengalami learning-loss. Learning loss itu sendiri merupakan kondisi dimana anak mengalami kemunduran secara akademis. Maksudnya, mereka tidak bisa mengikuti pembelajaran kurikulum dengan baik selama pandemi berlangsung.
Banyak hal yang menyebabkan kurikulum darurat ini tidak berjalan maksimal. Model pembelajaran daring hingga hybrid tentu tidak serta-merta mudah dijalankan. Ada berbagai keterbatasan yang dapat dijabarkan. Kondisi satuan pendidik, potensi daerah hingga si peserta didik tersebut menjadi salah satu alasan konvensional yang tidak bisa dihindari.
Model pembelajaran daring tentu mengharuskan siswanya menggunakan perangkat ajar berupa ponsel genggam. Jika tidak ada ponsel genggam maka siswa akan kesulitan mengakses pendidikan. Secara nyata tidak semua orang tua mampu membelikan ponsel untuk anaknya, yang mungkin masih sangat dini untuk menggunakan ponsel. Sebagaimana kita tahu, kurikulum darurat juga diterapkan hingga lapis peserta didik mendasar yaitu anak di bangku Sekolah Dasar (SD).
Belum lagi persoalan infrastruktur yang kurang mendukung yang membuat anak kesulitan untuk mengakses jaringan internet. Di daerah-daerah terpencil atau pesisir tentu anak akan sangat sulit mendapatkan sinyal internet. Jadi, segelintir penjabaran hambatan tersebut masih sangat umum. Akibatnya, anak sering mengabaikan jam belajarnya. Semakin lama anak akan semakin tertinggal dengan anak yang seusia dengan mereka. Kekhawatiran akibat krisis learning loss membuat pemerintah harus segera menindaklanjutinya.
Atas dasar situasi learning loss tersebut, pemerintah memberikan keputusan baru yang tertuang dalam Kepmendikbudristek No. 56/M/2022 . Keputusan itu sebagai Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Apa yang mau dipulihkan tentulah learning loss tadi. Jadi, KM diperuntukkan untuk memulihkan ketertinggalan pembelajaran para peserta didik. Sehingga satuan pendidik perlu mengembangkan kurikulum dengan prinsip diversifikasi yang sesuai dengan kondisi sekolah hingga potensi daerahnya. Lagi-lagi ada syarat di dalam pedoman tersebut.
KM merupakan sebuah kurikulum baru yang didesain untuk mengarahkan anak memilih apa yang mereka sukai dalam proses pembelajaran. Artinya tidak ada lagi peminatan. Tidak ada lagi jurusan IPA maupun IPS. Sekolah diberikan kebebasan untuk menerapkan kurikulum seperti apa yang bakal diterapkan kepada siswa-siswanya.
KM tetap mengacu pada Standar Nasional Pendidikan sehingga tujuannya tetap sama ialah mewujudkan pendidikan nasional. Jadi, KM tentu memiliki payung hukum yang jelas di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. KM itu sendiri berlaku pada tahun ajaran 2022/2023. Maka, targetnya jelas untuk menyelesaikan persoalan learning loss secara cepat dan juga tuntas.
Di Indonesia sendiri telah sebanyak 63.000 sekolah menerapkan KM. Untuk sekolah-sekolah tertentu yang tercukupi dari segala SDM (Sumber Daya Manusia), sarana dan prasarana tidak mempersoalkan bila KM ini menjadi pilihan. Sayangnya bila KM itu tidak bisa terlaksana merata untuk beberapa sekolah lain yang memiliki keterbatasan.
Di sekolah negeri di daerah-daerah tertentu akan sangat sulit menjalankan KM dengan baik. Bayangkan saja bila siswa diberikan pilihan untuk menentukan apa yang mereka pelajari, tentu sekolah tidak sepenuhnya siap. Misalnya, siswa menyukai seni di bidang musik, maka sekolah harus menyediakan fasilitas musik kepada siswanya. Sekolah harus memiliki guru yang professional di bidang itu. Sementara bukan menjadi rahasia lagi, betapa banyak guru bukan di bidang seni ditugaskan untuk mengajar seni. Misalnya, guru matematika mengajarkan musik, atau guru sejarah mengajarkan seni melukis.
Akibatnya, penerapan KM terbentur dengan kelengkapan sarana, prasarana hingga kesediaan guru yang ahli di bidangnya. Bila tidak cukup memenuhi ketiga kondisi tersebut, maka sia-sialah sekolah memakian KM untuk diterapkan kepada siswanya. Siswanya tidak bisa mendalami apa yang menjadi minat, bakat dan potensinya.
Jadi, KM tak sekedar memenuhi penguasaan materi di bidang literasi dan numerasi yang sempat tertinggal akibat pandemi. Ada poin yang ingin dicapai di dalam KM itu sendiri, yaitu pengembangan karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan penguasaan kompetensi anak. Penguasaan-penguasaan itu kelak akan membekali mereka di masa depan. Mereka akan membawa keahliannya untuk bisa bertahan hidup.
Jadi, penerapan KM di sekolah ibarat memberikan modal kepada murid sejak dini. Modal itu kelak akan dipakai mereka untuk bisa bersaing dengan anak-anak di luar sana. Betapa besar sebenarnya mimpi yang ingin dicapai di dalam visi KM ini. Sehingga, ini sudah menjadi PR bagi satuan pendidik dan para pendidik untuk mengawasi setiap minat yang dipilih anak didiknya.
Sementara keterbatasan sarana dan prasarana bukan sesuatu yang instan untuk dicapai. Apalagi di sekolah negeri, ada keterbatasan anggaran baik dari pemerintah hingga para orang tua murid. Orang tua tidak tahu-menahu soal kurikulum merdeka ini, yang jelas mereka akan sulit untuk berkorban materi dalam rangka mendukung pencapaian anaknya.
Di atas masih persoalan keterbatasan fisik. Bagaimana bila yang terjadi ialah sekolah tidak memiliki instrumen yang tepat untuk menilai apakah siswa itu tidak salah memilih apa yang dia sukai. Jangan-jangan mereka hanya ikut-ikutan. Bisa jadi siswa hanya terpengaruh oleh tren sesaat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh lahir dari passion-nya.
Tentu arah penerapan KM ini tidak asal-asalan meskipun maknanya diberikan kebebasan kepada murid. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Maka, tak heran mengingat banyak keterbatasan akhirnya sekolah tidak memilih untuk menerapkan kurikulum ini. Karena basic-nya sudah sulit terpenuhi. Rata-rata KM-pun dapat diterapkan bila satuan pendidik tersebut merupakan satuan penggerak. Atau disebut dengan sekolah penggerak atau sekolah yang memiliki guru penggerak.
Baiklah, anggap di dalam sekolah penggerak memiliki segala SDM, sarana dan prasarana yang mumpuni. Atau di dalam sekolah memiliki guru penggerak. Maka yang menjadi persoalan baru ialah apakah jumlah guru penggerak tersebut seimbang dengan jumlah guru lainnya. Atau apakah guru penggerak tersebut mampu menggerakkan guru-guru yang lain agar bisa menjalankan KM dengan baik. Jangan-jangan yang muncul adalah kecemburuan sosial yang menyebabkan konflik horizontal antara para guru.
Analogi-analogi ini sekiranya tidak menimbulkan skeptis. Hanya saja, KM jangan dijadikan sebagai pelarian saja. Kenyataannya, KM tidak sebegitu memerdekakan anak untuk menguasai apa yang telah mereka pilih atau apa yang telah mereka sukai. Butuh perjuangan besar di dalam penerapannya dan tentu tak terbilang singkat.
(*) Penulis merupakan pegiat Perhimpunan Suka Menulis (PERKAMEN)
Terbit di harian Waspada tanggal 15 Juni 2022
Komentar
Posting Komentar