ARTIKEL: Mencegah Ketertinggalan Melalui Literasi
Penny
Chariti Lumbanraja, S.Si, SE, M.Si
Tiga dekade lalu,
Soedjatmoko pernah menulis tentang pengembangan mutu pendidikan karena ia
memprediksi, di masa depan, bakal terjadi perubahan-perubahan yang sangat cepat
dan sulit diatasi. Apa yang dipikirkan Soedjatmoko itu ternyata terjadi.
Idenya di masa lalu
masih relevan hingga hari ini. Lihat, bagaimana kita saat ini menghadapi
disrupsi di berbagai bidang, sebagai buah dari perkembangan teknologi informasi
yang sangat pesat. Di masa lalu, boleh jadi perubahan-perubahan yang terjadi
sekilas dipandang remeh tetapi hal itu justru menentukan kualitas berpikir
manusia masa kini. Di abad 21, dibutuhkan manusia-manusia yang dapat menangkap
serta mencerna informasi dengan baik untuk mengimbangi perkembangan teknologi
dan informasi yang lajunya menderas. Zaman seperti ini benar-benar akan sulit
dihadapi bila tidak menuruti nasihat Soedjatmoko.
Dalam pidatonya tahun
1988, Soedjatmoko menjelaskan tiga poin besar soal pentingnya literasi.
Pertama, untuk menjadi masyarakat melek informasi harus memperkuat pemahamannya
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pemahaman akan IPTEK dapat
meningkatkan daya saing, mempertahankan hingga memperbaiki kedudukan seseorang
di mata dunia. Pemahaman IPTEK dapat menanggulangi pengaruh negatif sehingga
diperlukan pembinaan terpusat.
Kedua, well-informed. Adanya kemajuan IPTEK
tidak hanya bergantung pada sistem pendidikan dan kemampuan seseorang.
Modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi akan terwujud bila negara mau
beradaptasi, atau ada kemampuan belajar suatu bangsa. Kemampuan termasuk tak
sekadar motivasi melainkan kemampuan untuk mengolah informasi (well-informed), dan memanfaatkannya.
Artinya seseorang yang dapat menangkap dan mencerna informasi dengan baik.
Soedjatmoko telah lebih
dahulu memberikan “warning” bahwa di
masa depan akan muncul beragam informasi bahkan sampai berita-berita palsu.
Seseorang dengan well-informed harus
mampu membaca banyak informasi dalam suatu waktu atau multitasking. Meskipun dalam waktu relative singkat tetapi dapat
membaca dengan tuntas.
Kejadiannya, orang suka
membaca sepenggal-sepenggal. Tidak menangkap pesan informasi dengan utuh.
Informasi hoaks dapat terjadi tidak hanya akibat dari sumber informasi yang
sengaja dikemas fiktif, melainkan juga disebabkan adanya miskomunikasi. Jadi,
di masa hidup Soedjatmoko tiga puluh tahun yang lalu, ia telah memberikan
gambaran bahwa kebenaran informasi dapat berubah secara drastis, sulit
diprediksi yang ditandai dengan perkembangan iptek dan informasi yang cepat.
Zaman yang seperti ini benar-benar
akan sulit dihadapi bila tidak memiliki keterampilan well-informed dan long-life
learning, berpikir integratif dan konseptual, kreatif inovatif, memiliki
kepekaan keadilan sosial dan yang terakhir adalah berorganisasi berjejaring.
Kalau di zaman sekarang, well-informed
dan long-life learning bisa
disederhanakan dengan ketrampilan berliterasi.
Keterampilan literasi
ialah seni mencerna, memilah, mengumpulkan dan mencari informasi kemudian
menyaringnya dan mencari sebuah kesimpulan, lalu mensintesa gagasan baru.
Kemampuan berliterasi merupakan sebuah kecakapan yang paripurna. Jadi,
Soedjatmoko pernah menyatakan jika seseorang tidak bisa memahami, memilah
informasi dengan baik maka orang tersebut akan tergerus dengan zaman. Orang
tersebut akan sulit survive di
Abad-21. Ini merupakan peringatan Soedjatmoko.
Orang yang well-informed ialah manusia pembelajaran
yang selalu selektif dengan segala jenis informasi yang dia terima. Apa yang
terjadi dengan bangsa kita saat ini, persis dengan yang dibayangkan oleh
Soedjatmoko jauh-jauh hari. Banyaknya hoaks dimungkinkan terjadi karena manusia
tidak mampu menyaring informasi dengan baik.
Peringatan itu telah
terjadi pada saat ini ketika manusia hidup di zaman yang telah diperingatkan
Soedjatmoko dimana banyak sekali hoaks bertebaran. Banyak sekali berita palsu
bertebaran, baik di politik, kesehatan, ekonomi, sosial dan lainnya. Semua
hoaks itu mendominasi informasi yang benar dan berseliweran di berbagai media
sosial. Orang bangun pagi yang dicari adalah media sosial. Di situlah jalannya
hoaks dikonsumsi oleh masyarakat tanah air.
Media-media sosial kita
kerap dibanjiri dengan berita hoaks. Kemenkominfo menyebutkan, 800.000-an situs
terindikasi menyebarkan informasi palsu. Data April 2022 mencatat 73,7 persen
dari populasi Indonesia telah menggunakan internet. Penggunanya terbanyak
berasal dari kalangan milenial.
Setiap tahunnya
pengguna internet terus bertambah. Penetrasi pengguna internet menunjukkan,
hampir 95 persen internet itu diakses melalui ponsel genggam. Remaja sebagai
penguasa pengguna internet tidak mencari informasi dari media-media yang
kredibel, media arus utama atau situs-situs terpercaya melainkan dari media
sosial. Bisa dibayangkan betapa hoaks paling banyak diserap oleh generasi muda
penerus bumi pertiwi ini.
Betapa bangsa kita
mudah percaya dengan sesuatu yang sebenarnya belum teruji. Itulah yang
dikonsumsi khalayak umum. Itulah yang membuat bangsa kita ini menjadi bangsa
yang tidak mampu berpikir mandiri. Dan oleh Soedjatmoko dinyatakan not
well-informed.
Akibatnya yang terjadi
ialah bangsa kita akan terpuruk karena tidak mampu berpikir, tidak mampu
menganalisa, tidak mampu mengambil keputusan yang benar. Dan kita tidak mampu
mensintesa gagasan-gagasan yang baru ataupun terobosan-terobosan baru. Ini
sangat berbahaya.
Ketiga, berkreasi dan
berinovasi. Selain literasi, untuk bisa hidup di abad 21, Soedjatmoko
menekankan hidup berkreasi dan inovasi. Kreativitas dan inovasi ini dimuarakan
untuk menyelesaikan banyak masalah. Sebagaimana pandemi Covid-19 yang melanda
dunia termasuk Indonesia, satu-satunya jalan untuk terhindar dari learning loss karena pembatasan adalah
mengoptimalkan kreativitas. Pembelajaran tidak boleh berhenti.
Dan kreativitas serta
inovasilah yang bisa menjawab itu. Pembelajaran tetap bisa dilanjutkan baik
model daring maupun luring. Dengan demikian, pandemi tidak memutus hubungan
antara murid dengan guru dalam hal belajar.
Hidup di abad-21 tentu
tidak gampang. Belum lagi bagaimana kita bisa berjejaring kalau kita sendiripun
mudah termakan oleh hoaks. Perpecahan-perpecahan itu akan selalu ada ketika
orang tidak mampu berpikir secara mandiri dan secara intelek. Menurut
Soedjatmoko, kemampuan berjejaring juga merupakan kunci sukses untuk bisa
survive di abad 21.
Kaya pengetahuan saja
tidak cukup membuat orang bisa bertahan hidup di tengah zaman yang penuh dengan
ketidakpastian ini. Sebab perubahan terjadi sangat cepat. Apa saja bisa berubah
kapan saja. Jika tidak dibarengi dengan kemampuan berjejaring (berkolaborasi),
maka kita bakal dilintas oleh zaman. Kita akan mengalami ketertinggalan.
Setiap harinya, negara
Indonesia berhadapan dengan hoaks. Hoaks buster
diperuntukkan sebagai kanal untuk menetralisir kabar palsu yang telah beredar
di kalangan masyarakat. Lebih parahnya lagi, hoaks semakin dikemas dengan
mencantumkan sumber-sumber yang kredibel. Akhirnya, kita menjadi kesulitan
untuk membedakan informasi valid dengan yang tidak.
Pernah terjadi kabar
hoaks yang sempat menggemparkan dunia politik Indonesia. Kasus penganiayaan
Ratna Sarumpaet yang pernah viral tahun 2018 lalu membuatnya menjadi buah bibir
yang paling menghebohkan. Karena semakin carut-marut, akhirnya polisi turun tangan
dan menyelidiki hingga terbukti bahwa informasi tersebut hanya dibuat-buat atau
tidak terbukti benar. Akibat itu, kini Ratna Sarumpaet mendapatkan julukan Ratu
Hoaks se-Indonesia.
Hoaks telah merembes
sampai sekarang karena telah menyentuh sisi-sisi kemanusiaan. Penanganan
penyebaran hoaks tidak sepenuhnya diselesaikan atau dipulihkan. Itulah sesuatu
yang dulu pernah dikhawatirkan atau diperingatkan oleh Soedjatmoko. Harusnya
masyarakat Indonesia berterima kasih karena dia pernah memberikan pesan surgawi
itu ketika dia masih hidup.
Dan mungkin kita tidak
perlu membangunkan Soedjatmoko untuk mengubah hal itu tetapi pesannya itu yang
harus dihidupkan kembali. Dengan cara apa? Tentu dengan membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang berliterasi, bangsa yang cakap, bangsa yang mampu berpikir
mandiri dan cerdas dalam mengelola media informasi. Itu tantangannya.
(*)
Komentar
Posting Komentar