OPINI: Menjaga Ekosistem Perkoperasian Indonesia
Menjaga Ekosistem Perkoperasian
Indonesia
Penny Charity Lumbanraja
Sekian KSP (Koperasi Simpan Pinjam) ditemukan bermasalah membayarkan simpanan para anggotanya dan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem perkoperasian di Indonesia. Kejadian seperti ini sudah kerap terjadi. Kegagalan koperasi akhirnya semakin mengusik rasa kepercayaan masyarakat kita.
KSP Sejahtera Bersama adalah satu dari delapan koperasi yang saat ini tengah bermasalah karena belum menyelesaikan kewajiban (hutang) kepada anggotanya. KSP Sejahtera Bersama gagal menyimpan uang simpanan milik anggotanya yang jumlahnya sebesar Rp8,6T. Sampai sekarang, penyelesaian pembayaran kepada anggota koperasi masih dalam proses yang panjang. KSP Sejahtera Bersama baru mampu membayar sebesar Rp134,7 M. Dan angka ini masih sangat jauh dari yang harus dipenuhi.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah telah menetapkan tahapan pembayaran kewajiban yang sepatutnya dipenuhi KSP Sejahtera Bersama kepada anggota koperasi. Termin pembayarannya seharusnya dipenuhi sebanyak dua kali. Namun, KSP tersebut tidak dapat menyanggupi.
Sungguh menyesakkan bagi para anggota koperasi melihat kegagalan pihak koperasi dalam memanajemen simpanan para anggotanya. Betapa pelaku koperasi tidak dengan sungguh menjalankan amanat undang-undang. Semua itu tertera dengan jelas pada UU No. 25 Tahun 1992. Banyak anggota yang mengalami stress, rugi besar atas kejadian ini. Belum lagi akibat pandemic Covid-19 mempersulit ekonominya. Jangankan berharap mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha), kembalinya simpanan anggota sesuai dengan nominalnya masih dianggap sebuah mimpi.
Bayangkan betapa pengorbanan para anggota yang telah memilih koperasi untuk mengelola keuangannya. Mereka menyimpan uangnya sedikit demi sedikit dan menaruh harapan di masa depan. Kelak, saat tidak mampu lagi bekerja, mereka bisa terbantu dari dana simpanan yang dikumpulkan selama ini. Kegagalan ke-delapan koperasi ini sungguh menampar betapa lemahnya ketegasan perlindungan negara bagi anggota koperasi di Indonesia.
Setelah 30 tahun UU Perkoperasian berjalan, mengapa masih saja terjadi penyelewengan seperti ini di tengah-tengah masyarakat. Kenyataannya, organisasi koperasi lupa mempertahankan azas kebersamaan, kekeluargaan dan demokrasi. Tidak lagi mengutamakan kesejahteraan para anggotanya. Melainkan melebarkan jarak antara pengurus dengan anggota yang ujung-ujungnya menciptakan gap yang sangat jauh. Di sini muncul keinginan untuk berspekulasi, menekan hingga membuat anggota malah jadi sengsara.
Peran koperasi dengan lembaga jasa keuangan dengan bank tentu berbeda. Keberadaan koperasi di tengah-tengah masyarakat seharusnya mempermudahkan masyarakat. Melalui koperasi, semestinya dapat memperkokoh perekonomian rakyat. Fungsi koperasi seharusnya untuk mewujudkan perekonomian nasional dengan usaha bersama yang berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Ini yang terjadi malah menguntungkan pihak sendiri. Pengelola koperasi tidak menjalankan hal yang sepatutnya dan malah mematikan nafas hidup para anggotanya.
Kejadian koperasi bermasalah di Indonesia sebenarnya ibarat gunung es.Tak muncul di permukaan tetapi kasus-kasus bermasalah seperti ini sangat banyak, marak dan belum terkuak. Akhirnya, masyarakat yang menderita, perekonomian negara terguncang dan hilangnya rasa keadilan.
Hal seperti ini tidak bisa dianggap pewajaran. Koperasi yang tidak mengembalikan simpanan anggota, koperasi yang memberikan bunga pinjaman yang tinggi hingga koperasi illegal harus dituntaskan. Ketegasan hukum perkoperasian Indonesia harus semakin ditegakkan agar mereka tidak semena-mena mempermainkan ketidaktahuan masyarakat. Ini terjadi pelaku koperasi yang melupakan azasnya memanfaatkan ketidakberdayaan masyarakat yang minim infomasi.
Masyarakat yang pemikirannya masih sangat tradisional menjadi sasaran para spekulan koperasi. Dengan iming-iming diberikannya pinjaman untuk menjalankan usaha, masyarakat seakan-akan dijebak. Masyarakat tidak memiliki dasar untuk melakukan perhitungan sebelum memberikan keputusan dengan tepat. Lagi-lagi disebabkan masih minimnya literasi dan keterbukaan informasi.
Melansir data Kompas (16/06/22), Litbang Kompas melakukan penelitian kepada 510 responden dari 34 provinsi untuk menemukan informasi yang jelas dari masyarakat terkait pengetahuan masyarakat akan fungsi koperasi. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, diperoleh sebanyak 68,5 persen masyarakat memberikan jawaban “belum” menerima infomasi terkait fungsi dan perlindungan uang anggota koperasi. Padahal, informasi ini sudah sepatutnya menjadi hak yang wajib diketahui dari pihak pemerintah. Namun, sayangnya masyarakat tidak mendapatkannya dan akhirnya mereka tidak cermat.
Kekisruhan koperasi yang bermasalah patut menjadi pembelajaran berharga agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali bagi masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM harus bersinergi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan HAM serta Kementerian Hukum dan HAM hingga Mahkamah Agung untuk menindak tegas pelaku koperasi yang menyimpang dari ketentuan undang-undang yang berlaku.
Seiringan dengan sinergitas antara pihak-pihak tersebut, KemenkopUKM juga perlu mendorong revisi atas UU tentang Perkoperasian yang telah berjalan selama 30. Tujuannya untuk memperoleh pembaharuan hingga sampai pada proses pengesahan. Butuh perjuangan yang serius untuk menciptakan iklim bisnis koperasi yang sehat bagi kebutuhan masyarakat. UU tentang perkoperasian dinilai telah usang karena tertinggal jauh dengan perkembangan zaman. Akhirnya, perlu dilakukan revitalisasi yang sejalan dengan kemajuan zaman.
(*) Penulis adalah Pegiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
https://analisadaily.com/e-paper/2022-07-06/files/mobile/index.html#12
Terbit di Koran Analisa tanggal 06/07/2022
Komentar
Posting Komentar