ARTIKEL: Relaksasi Pajak, Bantu UMKM Bangkit





Relaksasi Pajak, Bantu UMKM Bangkit

 

Ahmad, Manajer Area Restoran Simpang Margonda Kota Depok, merasa dirinya terbantu dengan adanya kebijakan relaksasi pajak. Usahanya nyaris bangkrut akibat pandemi. Berkat relaksasi pajak, usahanya mampu berdikari. Ia bisa berhemat dan mengalokasikan dana yang sebelumnya untuk pajak dialihkan ke kebutuhan lain. Ahmad adalah satu dari 5000 pelaku UMKM di Indonesia yang survive akibat adanya relaksasi pajak.

 

Tahun 2020, pemerintah melalui Kementrian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) PKM-44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. Pelaku usaha dapat mengajukan pembebasan PPh final UMKM sebesar 0,5 persen. Namun, wajib pajak yang dapat menerima manfaat ini diperuntukkan bagi UMKM dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8M per tahun.

 

Hal ini sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Target penerima manfaat relaksasi pajak ialah UMKM yang memenuhi kriteria di atas sehingga tidak perlu menyetor pajak. Selain itu, pihak yang bertransaksi tidak perlu melakukan pemotongan pajak saat melakukan pembayaran dengan UMKM tersebut.

 

Pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi pajak dilatarbelakangi banyaknya pelaku UMKM yang merugi hingga gulung tikar akibat pandemi Covid-19. Serangkaian kebijakan pembatasan membuat penjualan mereka terjun bebas hingga bablas sampai 90 persen. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menjadi isu membara yang harus segera diatasi.

 

Kebijakan relaksasi pajak akhirnya diterapkan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi negara agar tidak semakin terpuruk. Sasaran pemulihan ekonomi negara (PEN) salah satunya ialah UMKM. UMKM merupakan sektor yang paling rentan dari multiplier effect pandemi. Tujuannya mendukung para pelaku usaha agar dapat menopang usahanya secara mandiri.

 

Kebijakan relaksasi senantiasa memberikan keringanan bagi pelaku usaha. Keringanan ini diberlakukan selama 6 bulan. Upaya yang dilakukan pemerintah agar pelaku UMKM dapat tetap produktif dan untuk sementara tidak dibebankan pajak. Selain meningkatkan permintaan dan daya beli masyarakat, upaya ini diharapkan mengurangi tingkat pengangguran. Pelaku UMKM diharapkan tetap beroperasi. Pada akhirnya UMKM dapat menambah tenaga kerja dan menciptakan lapangan kerja untuk ekspansi usahanya.

 

Keberadaan UMKM sendiri kontribusinya sangat besar hingga 64 persen terhadap pendapatan negara (PDB), 99 persen untuk bisnis dan 67 persen bagi lapangan kerja. Pemerintah membidik UMKM sebagai salah satu sektor yang menggairahkan. Itulah sebabnya ketika UMKM terdampak pandemi, pemerintah dengan segera membangkitkannya.

 

UMKM mendukung pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan, mereduksi angka pengangguran, hingga membayar pajak.  Namun,  semakin diperdalam menimbulkan sisi lain yang menjadi persoalan. Pertanyaannya ialah apakah seluruh UMKM Indonesia bisa merasakan manfaat relaksasi pajak dengan maksimal?

 

Faktanya, adanya kebijakan relaksasi pajak akan mempersulit target pencapaian pajak. Implikasi relaksasi pajak akan memperpanjang defisit fiskal akibat potensi penerimaan yang bakal menurun. Artinya mengurangi pendapatan pajak usaha kepada negara. Namun, kebijakan ini dirancang dengan harapan yang positif agar pelaku UMKM dapat meningkatkan daya konsumsi, mengembangkan usahanya dan sebagainya. Namun, apa yang terjadi bila hal demikian tidak dimanfaatkan para pelaku usaha.

 

Data KemenkopUMKM setidaknya ada 37.000 UMKM mengalami kesulitan dalam mempertahankan usahanya. Mengambil satu data dari provinsi Bengkulu, sebanyak 188.000 UMKM dan hanya 566 UMKM yang mengikuti program insentif pajak. Artinya hanya 0,3 persen UMKM provinsi tersebut yang berkesempatan menikmati program ini. Kendalanya ialah informasi stimulus pajak tidak masif didapatkan masyarakat. Selain sosialisasi yang kurang memadai, persoalannya ada pada data UMKM.

 

Pelaku usaha tidak mematuhi kaidah regulasi perizinan UMKM. Hal tersebut menyebabkan data tidak sinkron hingga ke pusat. Di dalam proses perizinan itu, nantinya UMKM harus memiliki NPWP untuk menyatakan statusnya sebagai wajib pajak. Hambatannya, pelaku UMKM menganggap pajak adalah beban. Itu sebabnya tidak semua UMKM mengikuti kaidah perizinan dan tidak memiliki NIB (Nomor Izin Berusaha). Sementara, untuk menikmati relaksasi pajak, datanya harus valid. Di sinilah letak masalahnya.

 

Menyikapi hasil penelitian Deyganto (2022) mengeksplorasi pengaruh relaksasi pajak dengan melihat indikator dari insentif pajak tersebut. Parameter insentif pajak di antaranya tax holiday, tax allowance, tax reduction, penurunan tarif pajak dan percepatan penyusutan membawa pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan UMKM. Artinya praktik relaksasi/insentif pajak akan mendorong eksistensi UMKM. Para pelaku UMKM harus menyadari bahwa implementasi yang tepat dari relaksasi pajak akan menopang kinerja bisnisnya. Kontribusinya sangat besar terhadap pemulihan ekonomi negara.

 

Sumber penerimaan negara terbesar ialah pajak dan salah satunya dari pajak UMKM. Dari 67 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hanya 2,3 juta UMKM yang memiliki NPWP. Dan dari angka tersebut tidak semua UMKM rutin membayar pajak. Tersebarnya jumlah UMKM diharapkan membawa pengaruh baik terhadap penerimaan pajak. Namun, realisasinya tidak semudah yang dibayangkan.

 

Di India, UMKM sebagai mesin inti perekonomian negara. Fokus utama pemerintah India ialah bagaimana UMKM-nya akan terus berkembang dalam dekade ke depan. Dengan adanya relaksasi pajak, banyak UMKM di India dapat bertahan selama pandemi.

 

Di negara berkembang seperti Ethiopia, UMKM menjadi sumber utama pekerjaan dan pendapatan yang berkontribusi besar terhadap PDB lokal, regional hingga negara. Saat ini pemerintah Ethiopia sedang merumuskan rencana strategis untuk tahun 2020-2030 dan rencana itu akan tercapai bila semua UMKM-nya dapat bertahan mandiri. Ini menjadi gambaran bahwa pemberdayaan UMKM sejak dini membawa prospek cerah untuk negara.

 

Relaksasi pajak bagi pelaku usaha memang memberi resiko turunnya penerimaan pajak. Tetapi pemerintah terus berupaya untuk mencari cara mengompensasi kehilangan itu. Kehilangan penerimaan pajak akibat penurunan PPh badan memang dapat diperkirakan Rp80 Triliun setiap tahun. Jumlah tersebut belum terhitung secara menyeluruh. Artinya jauh lebih besar kehilangan penerimaan negara di setiap tahunnya. Untuk menutupi tersebut, otoritas pajak akan memperluas basisnya melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Pemerintah telah memandang jauh ke depan dan optimis bahwa dengan adanya relaksasi pajak akan meningkatkan daya tarik investasi yang lebih tinggi.

 

Relaksasi pajak menjadi upaya pemerintah bagi pelaku UMKM agar sadar pada keberadaan fungsi pajak. Informasi mengenai kebijakan relaksasi ini ialah menarik perhatian pelaku UMKM yang menikmati keringanan pajak. Upaya pemerintah menerapkan kebijakan ini hanya berorientasi pada keberhasilan UMKM.

 

Keberhasilan UMKM akan menembus kesulitan perekonomian negara. Bayangkan bila UMKM-UMKM di Indonesia merasakan kebijakan relaksasi, tentu efeknya sangat besar terhadap pemulihan ekonomi negara. Pulihnya ekonomi membawa Indonesia berpotensi besar dalam negara jajaran di dunia yang memiliki ekonomi terbaik.

(*)

 

  Sebuah naskah esai yang dilombakan untuk Hari Pajak 2022. Aku terbitkan di blog aja ya...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM