ARTIKEL: Menghijaukan Perdagangan Indonesia
Menghijaukan
Perdagangan Indonesia
Penny Chariti Lumbanraja dan Yosua Getmi
Rajagukguk
Ketidakpastian perubahan iklim
mendesak dunia untuk segera berbenah, termasuk Indonesia. Diprediksi, Indonesia terkena dampak sebesar 0,66
persen hingga 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030 karena perubahan iklim. Akibatnya,
aktivitas perdagangan bebas emisi atau rendah karbon kini menjadi
sorotan. Indonesia dalam mencapai era bebas emisi itu tentu memerlukan biaya yang
besar. Namun, Menteri Keuangan
dalam momentum Presidensi G-20 lalu mengungkapkan anggaran pemerintah masih
kurang dan hanya dapat menutupi 34 persen dari total kebutuhan pendanaan iklim.
Kebutuhan anggaran pemerintah untuk pendanaan iklim saja bisa mencapai Rp266
triliun per tahun. Angka ini cukup besar.
Segala kegiatan perdagangan di
Indonesia harus berorientasi pada kebaikan lingkungan. Cara itu menjadi upaya
bagi negara agar selamat dari ancaman perubahan iklim. Tindakan itu dilakukan dengan
menerapkan perdagangan hijau (green trade)
untuk mengurangi dampak emisi. Kebijakan bebas emisi memberi manfaat kebaikan bagi
masyarakat dan harus dimulai dari sekarang. Mengapa begitu?
Bagi negara-negara maju seperti
Amerika Serikat (AS) dan kawasan Uni Eropa (UE), sistem perdagangan hijau sudah
lazim. AS sendiri menjalankan kebijakan perdagangan hijau dengan menggulirkan
kebijakan energi terbarukan (EBT) dalam Undang-undang Pengurangan Inflasi (Inflasi Reduction Act). Berarti, bagi AS
kebijakan ini menjadi upaya mengendalikan dampak inflasi yang terjadi di sana. Sama
halnya dengan UE yang tidak hanya memiliki Arah Energi Terbarukan (Renewable
Energy Directive II/RED
II), UE juga menerapkan skema tarif preferensi umum plus (GSP+) dan Mekanisme
Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM). GSP (Generalized
System of Preferences) itu sendiri merupakan kebijakan menurunkan tarif bea
masuk yang diberikan kepada produk-produk yang dinilai kurang berdaya-saing di
pasar. Kebijakan GSP diperuntukkan memberi penghematan agar mendorong pihak
eksportir meningkatkan potensi ekspor yang lebih besar. Dengan catatan, produk
yang dihasilkan tidak bersumber dari lahan berpotensi mengalami deforestasi.
China juga telah berkomitmen untuk
mengurangi investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang bersumber dari
batubara. Ini disebabkan batubara tidak ramah lingkungan dan sangat tinggi
menghasilkan emisi kotor. Secara bertahap, China telah mensubstitusi PLTU
tersebut dengan pembangkit listrik berbahan EBT. Akibatnya, aktivitas impor
batubara kian hari tergerus dan tidak lagi menjadi bahan utama. Negeri Tirai
Bambu itu menargetkan negaranya bakal bebas emisi pada tahun 2060 tetapi
upayanya sudah dimulai dari sekarang.
Melihat negara maju seperti di atas,
sistem perdagangan hijau membutuhkan persiapan dan investasi yang besar. Itulah
mengapa banyak negara berkembang mengalami ketertinggalan karena beragam faktor
yang menghambat. Sulit untuk mengadopsi kebijakan produk hijau karena
memerlukan pembenahan yang panjang seiring dengan biaya yang besar. Tetapi,
bila sistem perdagangan hijau tidak segera diterapkan, itu semakin memberi efek
buruk bagi lingkungan dan menciptakan kesenjangan antarnegara di dunia. Maka
dari itu, Organisasi Perdagangan Dunia di bawah PBB (WTO) menyoroti setiap
negara agar segera menerapkan aktivitas perdagangan yang ramah lingkungan.
Produk yang dihasilkan harus mengutamakan kesehatan iklim dan lingkungan. Produk-produk
hijau dimaksud dapat mengedepankan lingkungan serta perubahan iklim melalui
sistem perdagangan hijau. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga dunia dari
ancaman perubahan iklim yang mungkin saja terjadi.
Perubahan iklim yang terjadi sangat
ekstrim menjadi tanda permasalahan lingkungan yang sangat berdampak bagi
kesehatan manusia. Di kota-kota besar sering terjadi banjir akibat hujan lebat,
musim kemarau berkepanjangan, hingga gelombang panas dapat menjadi masalah yang
lebih parah dari pandemi Covid-19. Kondisi ini sangat baik bagi perkembangan
bakteri, virus, jamur, dan parasit lainnya. Beragam mikroorganisme ini dapat
memicu sumber penyakit yang menular melalui udara dan menyerang siapa saja.
Maka tidak heran, penyakit kulit akibat jamur bermunculan, infeksi pernafasan
hingga jenis penyakit menular lainnya.
Tidak hanya mengganggu kondisi
kesehatan, perubahan iklim juga dapat mengganggu sektor pangan dan pertanian.
Bayangkan bila terjadi musim kemarau berkepanjangan, tanaman di sawah dan di
ladang mengalami kekeringan. Sementara tanaman-tanaman ini menjadi lumbung
pangan masyarakat. Apa yang terjadi bila sektor pangan terganggu akibat
perubahan iklim yang tidak segera teratasi. Kelaparan dimana-mana bukan tidak
mungkin terjadi di Indonesia. Di lingkungan juga begitu, bila terjadi musim
kemarau berkepanjangan, resiko kebakaran hutan bisa menjadi ancaman.
Menculik data dari Kompas (09/11/2022),
produk hijau dapat meningkatkan ekspor global hingga 14 persen pada tahun 2030
(setara 10,3 milliar dollar AS). Produk hijau yang dihasilkan mengakibatkan
pajak yang dibebankan pada produk menjadi lebih kecil sehingga harga produk
tersebut menjadi lebih murah. Produk dengan harga murah lebih menarik bagi
masyarakat dan dapat menekan angka inflasi negara. Beragam studi juga telah
membuktikan bahwa penerapan perdagangan hijau, inovasi hijau dan energi hijau
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi negara.
Lantas demikian, beragam upaya seperti
apa yang harus diperhatikan pihak pemerintah menuju produk rendah emisi di
berbagai negara. Pertama, menerapkan kebijakan penghapusan tarif atau
pengurangan tindakan non-tarif pada produk-produk hijau maupun produk penopang
energi terbarukan. Adanya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kemampuan
negara lain, mengingat banyak negara masih dalam tahap berkembang dan
berpenghasilan rendah. Kebijakan penghapusan tarif membuat produk hijau
Indonesia dapat diterima dan bersaing di industri pasar luar.
Hematnya, kebijakan persoalan tarif
dapat mempermudah laju ekspor. Namun, perlu diperhatikan dengan aturan RED II
oleh negara kawasan Eropa. UE sendiri memberi syarat bahwa produk-produk yang
dijual di pasar UE harus terverifikasi bebas dari lahan yang mengalami
deforestasi. Salah satunya, pengecualian diberikan pada produk yang dihasilkan
dari industri kelapa sawit karena sawit itu sendiri jelas mengakibatkan
deforestasi lingkungan. Deforestasi mengakibatkan luas hutan menjadi berkurang,
meningkatnya potensi bencana hidrometrologi, ancaman hilangnya flora dan fauna
dan merusak pasokan sumber daya air. Larangan yang tertera pada aturan RED II tersebut
sebagai upaya menangkal tindakan-tindakan yang dapat merusak keseimbangan
lingkungan.
Sayangnya, produk komoditas ekspor
yang menjadi unggulan bagi Indonesia mengandung emisi dan pengolahannya juga
menghasilkan emisi. Ini menjadi PR atau tugas besar bagi Indonesia mengingat
sejumlah negara di dunia akan menerapkan kebijakan bebas emisi. Adapun produk
komoditas itu berasal dari sektor pertanian (minyak kelapa sawit mentah hingga
produk turunannya), sektor batubara, sektor industri logam, barang-barang
elektronik, hingga sektor semen.
Kedua, pemerintah dapat melibatkan stakeholder untuk mengubah kondisi pasar
mulai dari proses, produk jadi hingga teknologi produksi yang berperan juga
rendah emisi. Kebijakan ini dapat didukung dengan memberikan apresiasi maupun insentif
kepada perusahaan dan pengusaha yang berinovasi dalam pengolahan proses
produksi rendah emisi. Produk-produk yang dihasilkan merupakan konsep dari
produk hijau sesuai dengan rencana Peraturan Presiden terkait Nilai Ekonomi
Karbon (NEK) yang saat ini sedang dipersiapkan. Kementrian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) mengusung penambahan kapasitas daya pada PLTS yang terpasang
hingga tahun 2025 dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW). Nantinya, dari kapasitas itu
akan menghasilkan NEK dan layanan khusus EBT. Dari situ, potensi penerimaan PLN
jumlahnya mencapai Rp1,54 Triliun per
tahun. Ini menjadi jawaban seiring dengan desakan WTO kepada setiap negara untuk
berkolaborasi dalam menciptakan teknologi yang dapat menopang industri produk
ramah lingkungan. Teknologi dimaksud seperti pemanfaatan panel surya, turbin
air/angin atau sejenis alat lain yang mereduksi emisi/karbon dan limbah air.
Hal ini sebagai tindakan untuk meminimalisir biaya teknologi dan menghasilkan
teknologi rendah karbon.
Ketiga, peran pemerintah melalui
pengawas perdagangan dari hulu ke hilir agar menerapkan sistem perdagangan
hijau di Indonesia. Harus ada koordinasi yang tepat dan sejalan antara
fungsional perdagangan dari pusat untuk menjalankan misi perdagangan hijau
secara menyeluruh. Upaya pemerintah pusat harus sejalan dengan pemerintah di
setiap daerah. Tindakan ini melibatkan peran masyarakat untuk melek produk hijau
yang tengah diisukan saat ini. Ini menjadi persoalan karena masyarakat
terkadang bersikap skeptis untuk melakukan pembaharuan akibat kurangnya
koordinasi yang baik antar kedua belah pihak. Pemerintah dalam melakukan
pendekatannya harus mengajak, mengarahkan serta mengawasi setiap aktivitas
perdagangan di lingkungan masyarakat. Aktivitas perdagangan dimulai dari awal
proses hingga menghasilkan produk jadi harus bersifat ramah lingkungan dan bebas
dari karbon. Contoh, masyarakat dapat memperhatikan kemasan produk yang mudah
terurai sehingga kemasan tersebut tidak menjadi limbah lingkungan. Pengawas
perdagangan secara berkala dan rinci mendeteksi setiap produk di pasar. Produk
di pasar tersebut harus lolos dari uji bebas emisi dan mendapatkan label ecoproduct sesuai ketentuan pemerintah.
Di luar dari itu, maka produk tidak layak di pasar karena berpotensi mengganggu
kesehatan lingkungan.
Terakhir sejalan dengan ecolabel, bagi perusahaan dapat menggunakan
teknologi rendah emisi. Teknologi yang digunakan harus diperbaharui dan tidak
memunculkan polusi. Pengusaha hingga masyarakat yang tidak menjalankan aturan berarti
telah menyimpang dari ketentuan dan legalitas yang telah ditetapkan pemerintah.
Larangan distribusi produk kepada masyarakat hingga ekspor-impor menjadi bentuk
konsekuensi bila terbukti melanggar aturan. Dalam hal ini, pemerintah harus
bersikap tegas membekali setiap pelaku usaha tentang pentingnya menjalankan
sistem perdagangan hijau.
Pandangan dan pola hidup manusia pun
mulai bergeser seiring dengan meningkatnya kepedulian dan kesadaran terhadap
lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tuntutan bagi para pelaku
bisnis untuk melakukan tanggung jawab lingkungan (environmental responsibility), sehingga timbul pola pendekatan
aktivitas perdagangan yang berbasis kelestarian lingkungan. Selain dapat
bersaing di tengah ketatnya persaingan pasar, para pelaku bisnis dituntut untuk
memberikan solusi mengadapi berbagai permasalahan lingkungan yang bermunculan
melalui pengembangan ramah lingkungan (green
product) itu sendiri.
Banyaknya produk-produk luar negeri
yang masuk ke Indonesia sedikit banyak akan mengubah sudut pandang masyarakat
terhadap produk-produk dalam negeri. Meningkatnya kepekaan masyarakat Indonesia
untuk memilih produk yang sehat dan ramah lingkungan, tidak menutup kemungkinan
akan terdapat banyak produk hijau dari luar negeri yang memasuki pasar
Indonesia. Jaminan ramah lingkungan telah menjadi isu di dunia perdagangan global
saat ini. Dari sini terlibat peran pengawas kemetrologian dalam menyisir
informasi yang tertera dalam kemasan atau Barang Dalam Keadaan Terbungkus
(BDKT). Salah satu informasi yang
didapatkan berupa perusahaan penyedia produk dan alamatnya sangat dibutuhkan.
Pendataan ini berguna agar pemerintah bisa menemukan perusahaan mana yang sudah
atau belum ber-ecolabel. Adanya logo ecolabel ini memudahkan masyarakat selaku
konsumen untuk mengetahui bahwa produk yg mau beli ternyata ramah lingkungan.
Jaminan ramah lingkungan atau yang
sering dikenal ecolabel menunjukan
produk tersebut terjamin mutunya. Di beberapa
negara sudah jauh lebih tanggap dalam mengatasi isu tersebut dan pemerintah di
negara itu mendukung aksi green trade
yang dilakukan pelaku usaha. Di sinilah salah satu bentuk fokus pemerintah
memberikan bentuk dukungan melalui ecolabel
untuk produk hijau. Dengan demikian, produk hijau dapat dengan mudah dibedakan
dari produk-produk nasional yang dijual di pasaran. Dapat kita simpulkan bahwa
perkembangan sertifikasi eco label di
indonesia dapat dikatakan terlambat, meskiput memiliki potensi yang sangat
besar. Di sinilah pemerintah Indonesia dirasa perlu untuk memperhitungan dan
mempertimbangan penerapan dari ecolabel
ini untuk produk hijau yang kita produksi di dalam negeri, sehingga tidak
terkubur dalam persaingan dengan produk hijau luar negeri. Menghijaukan
perdagangan Indonesia menjadi PR kita bersama.
(*)
Referensi
Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2020 Tentang Petunjuk
Teknis Jabatan Fungsional Pengawas Perdagangan
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel.
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/09/27/perdagangan-global-mengarah-pada-green-trade
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/11/08/menghijaukan-perdagangan-dunia
Komentar
Posting Komentar