OPINI: Bonus Demografi dan Generasi Sandwich
Bonus
Demografi dan Generasi Sandwich
Penny
Charity Lumbanraja
Tak semua beranggapan bahwa memenuhi
kebutuhan tiga generasi merupakan sebuah beban. Namun, pemikiran untuk mengembalikan
investasi yang diterima anak kepada orang tua yang sepenuhnya tidak tepat.
Itulah yang dialami bagi kelompok generasi sandwich.
Sandwich
generation
atau generasi roti lapis merupakan istilah ketika sebuah generasi harus merawat
generasi muda dan tua secara bersamaan dengan kebutuhan dirinya sendiri. Masalah
yang muncul dihadapi bagi generasi sandwich ketika tuntutan persaingan antara
merawat generasi muda dan tua serta trade-off
work-leisure yang terjadi simultan.
Menyelitir data BPS, jumlah generasi sandwich
saban hari semakin meningkat. Jika diproporsikan
dengan populasi usia produktif di Indonesia yang berjumlah 206 juta jiwa,
diperkirakan ada 56 juta jiwa yang masuk kategori generasi sandwich (Kompas,
8/9/2022). Berarti setiap 100 penduduk berusia produktif (15-59 tahun) harus
menanggung 27 penduduk lansia.
Faktanya tidak hanya
menanggung kebutuhan para lansia, tetapi mereka yang lagi atau tidak sedang
produktif. Bisa saja, salah satu keluarga yang kehilangan pekerjaan akibat di
PHK sehingga membuatnya menjadi tidak produktif. Alhasil, keluarganya yang
bekerja harus siap menjadi tonggak yang kuat untuk menanggung kebutuhan hidup
keluarganya.
Dalam posisi ini, mereka generasi
sandwich kian hari pasti mengalami tekanan dan himpitan. Tak sedikit, mereka
sampai cenderung mengalami gangguan
kesehatan mental hingga
stress karena ia harus menanggung beban ekonomi dan sosial dari 3
generasi. Depresi
dan rasa cemas menjadi faktor beresiko yang dialami generasi sandwich terutama
bagi perempuan.
Generasi sandwich harus menambah
porsi kerja untuk dapat memenuhi pertahanan finansial yang tinggi. Tuntutan
pekerjaan juga mendesak mereka untuk terus produktif, bila tidak tentu akan
sulit memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang bagi beberapa pria dan wanita
beresiko kehilangan pengembangan karirnya karena harus mengambil langkah mundur
untuk dapat merawat orang tuanya maupun anak-anaknya yang sedang bertumbuh
(Bowen dan Riley, 2005).
Berkaitan dengan beban yang dialami
generasi sandwich tentang pemikiran berkewajiban mengembalikan investasi yang
telah dikorbankan orang tuanya. Ini sangat bias. Mungkin tidak sebagian besar,
tetapi ini nyata terjadi. Dengan beban tersebut, impian mereka semakin sulit
dicapai akibat sejumlah masalah: tekanan di pekerjaan termasuk tekanan
finansial kepada keluarga.
Selain itu, peningkatan jumlah
generasi sandwich juga menjadi beban suatu negara. Dalam perspektif makro generasi
sandwich dapat memukul masalah pajak seperti keamanan sosial, penyedia
kesehatan, pemeliharaan, pendidikan dan pungutan pajak untuk generasi masa
depan. Dukungan kesehatan bagi perempuan kelompok generation sandwich juga jauh
lebih membutuhkan perhatian khusus daripada laki-laki.
Seseorang yang tidak produktif tetapi
di usia yang masih sangat produktif sebenarnya akan menimbulkan masalah bagi
negara. Pada usia produktif tentu harapannya dapat mengembangkan dirinya untuk
dapat menciptakan sesuatu yang bernilai sebagai bentuk pertahanan hidup.
Fenomena bonus demografi di Indonesia
semakin dekat di depan mata. Puncak kejayaan masa emas ini akan dipanen bersama
bila seluruh masyarakat berusia produktif dapat bekerja sama. Kemampuan
menciptakan suatu inovasi yang dapat membawa perubahan positif, inilah yang diharapkan
di tahun-tahun bonus demografi. Bila tidak dipersiapkan dari sekarang, kejayaan
di masa bonus demografi akan sirna. Beragam kesenjangan serta konflik sosial
yang menimbulkan kriminalitas akan menjadi masalah besar. Hal ini bisa terjadi
sampai ke lingkungan keluarga.
Peristiwa kenaikan BBM yang baru saja
terjadi tentu menjadi beban tambahan bagi seluruh masyarakat, konon lagi kepada
generasi sandwich. Kebijakan ini sebenarnya menjadi salah satu upaya pemerintah
untuk mengurangi beban ekonomi negara tetapi menjadi beban tambahan bagi pihak
masyarakat. Mau tidak mau, pengeluaran yang tidak berdaya guna harus semakin
ditekan. Pola hidup berhemat menjadi salah satu solusinya. Itulah cara yang
harus dilampaui bila Indonesia ingin melewati masa krisis ini. Beberapa negara
telah kolaps, termasuk Sri Lanka. Jangan sampai Indonesia menyusul.
Persoalan ekonomi yang semakin
menghimpit kian mendesak seluruh masyarakat untuk membeliakkan mata. Seluruh
masyarakat berusia produktif harus mampu beradaptasi di segala kondisi yang
penuh dengan ketidakpastian. Tidak menunggu siapapun, termasuk anggota keluarga
yang saat ini berperan menyanggupi kebutuhan keluarga, yang lain harus turut
berinovasi.
Kemiskinan menjadi alasan mengapa
orang tua segera menikahkan anaknya di usia muda. Harapnya, kelak anak tersebut
akan menanggung beban hidup orang tua di kemudian hari. Pemikiran ini sangat
dangkal tanpa membekali anaknya dengan baik. Akhirnya populasi penduduk semakin
membludak, stunting dimana-mana dan tidak terkendali. Tanpa adanya modal
pendidikan, mereka tentu berupaya melakukan apapun untuk bisa bertahan
hidup.
Akhirnya bermunculan anak-anak
perempuan yang masih muda melakukan pekerjaan yang tidak layak dengan dirinya. Kurangnya
lapangan pekerjaan mendesak banyak perempuan memilih bekerja menjadi PSK demi
menyambung hidup. Maka tidak heran, mengapa angka kasus HIV/AIDS di Indonesia
terus meningkat.
Pemerintah mesti fokus memikirkan masalah
generasi roti lapis. Pemerintah harus membuka kesempatan bagi masyarakat yang
saat ini belum memiliki pekerjaan agar mereka tidak hanya bergantung pada
keluarganya yang bekerja. Sempitnya penawaran pekerjaan, keterbatasan keahlian
hingga rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu hambatan. Faktor-faktor
ini dapat membuat negara ini semakin krisis, tertinggal dan sulit untuk maju.
Kepada orang tua maupun anggota
keluarga yang dianggap masih mampu (berbeda halnya bila sakit) juga tidak
sepenuhnya harus bergantung kepada anak. Apalagi sampai memberikan desakan
balas jasa dalam bentuk ekonomi, terutama kepada generasinya yang sebenarnya
juga mengalami tekanan finansial.
Generasi muda harus memikirkan masa
depannya yang masih panjang. Itu juga akan memberi efek positif untuk keluarganya.
Mereka juga memerlukan jeda untuk kemandirian finansial agar bisa mengembangkan
dirinya di tengah kemajuan zaman. Dalam hal ini bukan berarti mengabaikan penghormatan
kepada orang tuanya. Generasi sandwich boleh saja menunjukkan baktinya dengan
membantu biaya hidup orang tua. Hal itu tidak sepenuhnya salah.
(*) Penulis bergiat di PERKAMEN
(Perhimpunan Suka Menulis)
Tapi sayangnya penulis lupa save link.
Komentar
Posting Komentar