OPINI: Natal Adalah Tentang Kesederhanaan

 


Oleh: Penny Charity Lumbanraja


Akhirnya momen Natal yang setahun dirindukan telah tiba. Hari besar ini membawa perayaan penuh sukacita bagi seluruh umat Kristen. Sayangnya, yang terjadi ialah kita masih keliru mengartikan apa makna Natal yang sesungguhnya. Meleset jauh dari makna kesederhanaan, Natal menjadi alasan mengapa pola hidup hedonisme dan konsumerisme terjadi meruak pada momen ini.

 

Tidak ada yang berubah di setiap nuansa Natal yang terjadi dari tahun ke tahun. Yang berubah hanyalah pakaian bertambah banyak di lemari, sepatu bertumpuk di rak, hingga jenis pengeluaran sesaat yang melebihi porsi kemampuan. Apa yang dipikirkan di setiap perayaan Natal hanyalah sekilas mengubah penampilan saja.

 

Bulan Natal berubah menjadi bulan penuh keluhan dan kekhawatiran. Bulan Natal bukan lagi membawa hikmat bagi kita. Ada yang hilang dari arti Natal yang sebenarnya. Jika Natal bukan tentang perhiasan baru, pakaian baru, sepatu baru, hadiah dan apapun yang baru, lalu tentang apakah Natal itu?

 

Aksesoris Natal mulai bergelimpangan setiap memasuki bulan akhir tahun. Kita bisa melihat lampu-lampu Natal, pohon Natal beserta pernak-perniknya mulai dipajangkan di setiap gereja, rumah bahkan di tempat-tempat umum. Orang-orang bersemangat mendekorasi pohon Natal khususnya di rumahnya masing-masing. Hari lahirnya Sang Juruselamat disambut penuh kebahagiaan bagi jemaat Kristiani. Beragam tradisi pun dilakukan untuk merayakan momen Natal dan itu tak hanya dilakukan di gereja-gereja.

 

Keluarga yang jauh akan datang mengunjungi rumah orang tuanya. Kita menyebut ini “tradisi pulang kampung”. Membuat kue Natal, menjahit pakaian baru atau membeli pakaian serba jadi dari toko menjadi aktivitas lazim yang terjadi, dan itu sudah terpola di akhir tahun. Bagaimana tidak bila setiap perhimpunan atau perkumpulan mengadakan Natalnya, beda perayaannya beda pula konsep pakaiannya. Ada yang mengharuskan pakaian dengan mode yang sama ataupun dengan warna yang seragam. Banyak hal.

 

Pakaian dengan permintaan yang berbeda-beda tentu membutuhkan pengeluaran yang lebih besar. Tak hanya itu, perhiasan, sepatu hingga tambahan lain seperti peralatan kecantikan bagi kaum wanita tidak boleh ketinggalan. Maka, dengan keadaan seperti ini tidak semua orang Kristen bakal sanggup. Akibatnya kehangatan Natal bukan jadi prioritas tetapi yang ada hanyalah sebuah ketakutan.

 

Orang-orang terkhusus kaum ibu takut memenuhi permintaan anak di sekolah maupun di gereja. Ibu juga takut memenuhi permintaan perkumpulan, belum lagi harga kebutuhan hidup yang akan melonjak naik seiring dengan tren akhir tahun. Sepertinya ada yang aneh bila tidak beli pakaian baru, perhiasan baru, sepatu baru, gadget baru atau apapun yang baru. Tuntutan dan pengeluaran sana sini tentu memberatkan beberapa pihak yang tidak mampu mengikutinya. Ini beralasan karena tekanan biaya hidup yang semula memang sudah menghimpit. Dengan pola keliru seperti itu, momen Natal menjadi ajang kemewahan yang tidak pantas dirayakan setiap umat Kristen.

 

Ketakutan-ketakutan seperti ini membuat sebagian orang yang tidak mampu perlahan menyingkir. Ini terjadi karena fokus perayaan Natal tidak didasarkan pada sebuah kesederhanaan. Kondisi yang terkesan memaksa dan mengesampingkan pandangan orang lain terhadap hal itu. Perayaan Natal memang berjalan tetapi tidak memberikan damai dan mengganjal di dalam hati. Berat untuk mengutarakan, tetapi berat untuk tidak mengikuti karena menghindari persepsi-persepsi di benak orang lain. 

 

Natal dan Gempa Cianjur

 

Mungkin kita bisa bayangkan bagaimana kondisi gempa yang baru terjadi di Cianjur. Bencana itu telah meninggalkan suasana duka bagi banyak saudara kita di sana. Bertepatan dengan momen Natal, mereka justru kehilangan rumahnya, keluarganya, hartanya, atau apapun yang menjadi milik mereka termasuk tawa dan senyuman. Bencana alam di Cianjur merenggut kebahagiaan mereka dan meninggalkan sejuta kekhawatiran.

 

Bau menyengat di mana-mana seperti ada yang membusuk. Mungkin bau itu bersumber dari tubuh korban yang tewas akibat tertimpa bangunan. Akan tetapi, jasadnya belum ditemukan. Rumah, tempat-tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya tampak rata dengan tanah. Belum lagi hujan terus-menerus menimbulkan hawa dingin.  Kondisi suhu seperti ini menusuk tulang-belulang para penyintas gempa di tenda-tenda pengungsian. Suhu yang lembab juga disukai mikroba seperti bakteri, virus dan jamur. Mikroba itu dapat hidup berdampingan dengan para pengungsi.

 

Mikroba pembawa berbagai penyakit bisa mengancam kesehatan para pengungsi. Saat ini, kesehatan mereka adalah yang terpenting, karena jika tidak dijaga yang ada beragam penyakit dapat muncul. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak mampu membayangkan bagaimana hari esok. Jangan-jangan mereka bahkan tidak tahu bahwa ini adalah bulan Natal. Bulan yang sepatutnya dipenuhi rasa sukacita malah berubah menjadi bulan penuh cemas dan duka yang mendalam.

 

Jika membayangkan bagaimana di posisi mereka, kita pasti tidak mampu menghadapinya. Tidak ada baju baru, tidak ada rumah dan tempat ibadah untuk merayakan Natal. Dengan melihat fisik kemanusiaan seperti itu, rasanya mengembalikan senyum dan tawa yang baru sangatlah sulit dilakukan. Rasanya itu sangat mustahil terjadi di tengah-tengah kondisi yang di sekelilingi reruntuhan bangunan. Apa yang paling mereka butuhkan adalah hati yang sembuh dan kondisi buruk ini segera berlalu.

 

Jika melihat dengan kacamata duniawi, merayakan Natal di tengah reruntuhan sepertinya tidak pantas terjadi. Bagaimana para penyintas dapat bernyanyi, tertawa dan tersenyum tetapi di dalam benaknya, tubuh keluarganya masih belum ditemukan. Dengan keadaan seperti ini, Natal yang diharapkan malahan jauh dari standar kesederhanaan.

 

Pengharapan Natal

 

Natal melampaui iklim dan kehidupan komersial manusia. Natal bukanlah perayaan umat Kristiani yang eksklusif seperti halnya yang dilakukan dengan penuh pernak-pernik kemewahan atau yang dirayakan dengan tradisi-tradisi tertentu. Natal lebih mengedepankan hal yang ada di dalam hati manusia bukanlah di kepala. Natal bukan hanya menjadi hari tetapi momen ketika hati kita terbuka untuk gagasan rohani tentang Kristus.

 

Kristus merangkul dunia sehingga setiap umat tidak hanya dapat memiliki hubungan pribadi dengan Penciptanya, tetapi tetap setia untuk memiliki hubungan itu. Itulah pencarian yang utama di dalam momen Natal. Natal terjadi sebagai perayaan terbesar sejak penciptaan bumi, karena Tuhan membawa Putra-Nya ke dunia dalam wujud Manusia untuk membawa kedamaian. Manusia di bumi dipenuhi dengan dosa sehingga tidak sepantasnya mendapatkan keselamatan. Akan tetapi,  Kristus rela mati demi menggantikan hukuman yang seharusnya ditanggung setiap orang.

 

Dia menghadapi kematian itu agar manusia bisa selamat. Itulah hadiah natal yang sesungguhnya yaitu sebuah pengorbanan kedamaian yang diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma. Kasih Kristus tidak terukur demi setiap orang bisa selamat dari maut dosa. Siapa yang mempercayai Manusia itu, layak menerima hadiah terbesar Natal yaitu sebuah keselamatan. Sesederhana itu.

 

Jadi, momen Natal tidak menuntut kita merayakannya dengan penuh kemewahan. Kita tidak dipaksa untuk memberikan hadiah kepada keluarga dan teman kita. Kita hanya perlu memberikan pesan kedamaian sehingga nuansa Natal tidak membawa ketakutan akibat tuntutan dan permintaan berbagai pihak.

 

Banyak di antara kita lebih mengutamakan jumlah dan ukuran duniawi saat merayakan Natal daripada memberikan harapan dan semangat baru kepada saudara kita. Berbagi semangat dan harapan jauh lebih berharga dibandingkan dengan kehidupan serba mewah di kala perayaan Natal. Kristus sendiri menjadi Manusia yang posisinya rendah menurut kacamata kita. Dia hidup di dalam kesederhanaan dan memiliki misi di sepanjang hidupNya untuk memberikan pesan kedamaian.

 

Bila umat manusia meninggikan dirinya dengan kehidupan yang jauh dari kesederhanaan, hal ini menjadi ketimpangan yang sebenarnya Kristus tidak inginkan. Kristus mengambil kehidupan dari posisi terendah sementara manusia berlomba-lomba di posisi tertinggi membuat Kristus dan manusia tidak dapat bertemu. Teladan sesungguhnya yang diinginkan dalam momen Natal ini adalah hidup di dalam kebaikan, sama halnya yang telah dilakukan Kristus di dunia.

 

Hari Natal menjadi momen peringatan kelahiran Yesus Kristus di tengah-tengah kehidupan kita. Allah umat Kristiani menyatakan dirinya menjadi Manusia melalui Yesus Kristus. Ini membuat gempar di seluruh dunia karena kelahiran Kristus terjadi di kandang domba. Kondisi ini jauh dari kata layak. Bagaimana mungkin seorang Kristus lahirnya di sebuah kandang domba. Apalagi Dia menyebut diriNya adalah seorang Raja. Akal manusia pasti sangat keras menolak ini.

 

Kristus sebagai Raja bukan tidak bisa memilih lahir di rumah sakit mewah yang dilengkapi fasilitas canggih  dan kemampuan para medis yang mumpuni. Bagaimanapun akal dan logika manusia tidak akan mampu melampaui apapun yang menjadi rencana Pencipta. Karena antara Kristus sang Pencipta dan umat manusia tidaklah sama. Kita hanyalah bagian terbesar yang diciptakan-Nya. Peran manusia di bumi hanyalah meneladani pengajaran Kristus bahkan sejak awal Dia dilahirkan. Teladan itu ialah hidup di dalam kesederhanaan. Kesederhanaan itu termasuk saat kita merayakan Natal.

 

(*) Penulis adalah Penggiat PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)

https://analisadaily.com/e-paper/2022-12-24/files/mobile/index.html#12 

Terbit di Harian Analisa tgl 24 Desember 2022

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM