ARTIKEL: Masyarakat Sebagai Watchdog Metrologi





Penny Chariti Lumbanraja

 

Selaku konsumen, masyarakat kerap tidak menyadari bahwa mereka sering dicurangi soal takaran yang tepat saat transaksi dagang. Bila transaksinya masih kecil, mungkin tidak terasa efek kecurangan. Namun, jika muatannya terbilang besar, mencurangi takaran akan sangat merugikan banyak orang. Mencurangi takaran merupakan salah satu tindak kejahatan karena telah memalsukan atau mengutak-atik ukuran dan timbangan.

 

Mencurangi takaran sering dilakukan oleh beberapa pelaku usaha demi mengutamakan kepentingannya. Mereka mengesampingkan hak-hak konsumen yang sepatutnya mereka hargai. Sebagaimana itu diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 Ayat (1) huruf c. Pada pasal itu jelas ditegaskan, pelaku usaha dilarang memperdagangkan produk maupun jasa yang tidak sesuai dengan hitungan ukuran yang sebenarnya.

 

Sejatinya, masyarakat harus kritis memastikan ukuran produk yang menjadi haknya. Penyimpangan pada alat ukur bisa saja terjadi. Misalnya kasus mesin pompa di SPBU yang digunakan untuk mengisi BBM. Masyarakat dapat memastikan apakah mesin pompa tersebut telah dikalibrasi secara berkala, ditandai dengan adanya pembubuhan segel metrologi dari pihak pemerintah. Penyimpangan mesin membuat takaran tidak sesuai dengan batas toleransi, akibatnya ukuran BBM tidak tepat. Itulah sebabnya mesin tersebut harus diuji secara berkala oleh pegawai pemerintah tertentu.

 

Metrologi Dalam Dagang

 

Soal takaran dalam perdagangan dikaji dalam metrologi. Metrologi merupakan pengetahuan yang mengkaji soal pengukuran, kalibrasi dan akurasi di sektor industry maupun perdagangan. Berbicara soal pengukuran, tentu metrologi bermuara pada takaran yang berkenaan dengan transaksi ekonomi, kesehatan hingga keselamatan. Kalau sudah menyangkut transaksi ekonomi, tentu ada peran keterlibatan konsumen dan pelaku dagang. Sayangnya, masyarakat kita masih minim literasi mengenai pentingnya melek metrologi saat transaksi dagang berlangsung.

 

Mengapa bisa begitu? Tentu, disebabkan ukuran yang tepat masih menjadi persoalan. Siapa pihak yang dapat menjamin ukuran produk yang ditakar terhadap konsumen sudah tepat. Pertanyaan ini kerap muncul dalam benak konsumen. Pelaku usaha bisa saja berspekulasi yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Ketika harga dan pengorbanan konsumen tidak sesuai dengan takaran yang layak dia terima, inilah letak persoalannya.

 

Bila menyangkut soal keamanan dan keselamatan, bisa dipandang dari sudut medis. Timbangan elektronik yang digunakan untuk menimbang ukuran maupun dosis obat harus dipastikan kebenarannya. Penyimpangan pada timbangan dapat berakibat fatal pada keselamatan seseorang.

 

Jujur, secara pribadi saya sebagai konsumen cenderung lebih percaya pada alat ukur dagang yang telah dilegalisasi oleh pihak berwajib. Disebutkan demikian, pihak berwajib merupakan pegawai  pemerintah yang secara legal memberikan tanda sah pada alat ukur yang dijadikan sebagai transaksi dagang. Proses ini dinamakan peneraan.

 

Pegawai tera tersebut telah melalui serangkaian pendidikan, uji kompetensi serta pelatihan untuk bisa mengkalibrasi alat dagang yang dijadikan sebagai alat transaksi dagang. Bila pegawai tera ini tidak memahami sistem, maka yang muncul kerugian. Dampaknya bisa terjadi pada pelaku usaha ataupun bagi konsumennya. Sampai di sini, jelas sudah ada upaya dari pemerintah untuk menjunjung tinggi tertib ukur dagang yang adil serta jujur agar terhindari dari pihak-pihak yang berpatgulipat.

 

Pegawai tera memberikan pelayanan prima serta bertanggung jawab penuh memegang kendali kebenaran alat ukur. Alat ukur tersebut sebelum dilegalisasi harus melalui serangkaian uji untuk melihat titik nol (kebenarannya). Ketika telah diuji sesuai prosedur, barulah alat tersebut layak diterjunkan ke masyarakat sebagai media pengukuran perdagangan.

 

Sayangnya, masyarakat masih menutup mata perihal pentingnya hal demikian. Pedagang kecil misalnya, mereka belum tentu mau diedukasi mengenai informasi ini. Apakah itu karena tidak ada sosialisasi atau memang mereka bersikap acuh tak acuh bahkan mungkin saja sengaja berlaku curang. Mereka sudah terlebih dahulu terbeban dengan biaya retribusi. Biaya retribusi yang cenderung kecil itu mereka anggap sebagai beban. Padahal, penerapan alat tera yang benar ini bukan hanya untuk melindungi nasib konsumen, tetapi juga pelaku usaha, agar jangan sampai merugi.

 

Di pelbagai daerah tanah air, pengetahuan soal metrologi telah berjalan dengan baik. Daerah yang masih kesulitan untuk membenahi pola pikir pelaku usaha dan masyarakat diharapkan mengadopsi keberhasilan sistem di daerah lain. Namun, faktanya ketika tertib tera ini dijalankan, kerap ditemukan sejumlah pelaku usaha cenderung bertindak curang. Sehingga mereka berusaha menghindari bila ada pelayanan peneraan turun ke lapangan. Ada yang sembunyi-sembunyi bahkan menutup usaha-nya secara tiba-tiba.

 

Fakta di Lapangan

 

Kenyataannya, mencurangi alat ukur kerap terjadi di lapangan. Saya kerap menemukan kecurangan seperti itu di lapangan. Bahwa alat ukur yang telah dikalibrasi pun masih bisa diselewengkan. Apalagi, jika alat ukur tersebut tidak pernah diperiksa oleh pegawai tera. Pelaku usaha berdalih, dengan mengatakan, segel metrologi yang rusak itu terjadi tanpa disengaja. Ini jelas kejahatan besar, karena pelaku usaha meraup untung besar di atas jerih payah konsumen. Mereka menambah pundi-pundi kekayaannya dengan mencurangi timbangan. Keuntungannya bisa berlipat-lipat. Ironinya, mencurangi timbangan dianggap sebagai kewajaran.

 

Jelas, kecurangan seperti ini tak boleh dibiarkan. Masyarakat melek metrologi harus berdiri sebagai anjing penjaga yang paling galak menggonggong jika menemukan ada penyimpangan alat ukur atau timbangan. Pengawasan kebenaran takaran tidak hanya menjadi tugas pegawai tera. Peran serta masyarakat adalah keniscayaan. Pelaku usaha yang licik cenderung hanya memikirkan kepentingannya serta bagaimana mendulang untung fantastis sekalipun harus mengangkangi aturan dan norma hukum yang berlaku.

 

Kesulitan kita adalah bagaimana menyatukan pola pikir masyarakat dengan pihak pemerintah agar dapat berjalan searah. Itu kendalanya. Mental yang kelihatannya sederhana telah mendarah daging seperti tunggu rugi bablas dulu baru bertindak. Atau tunggu tiba pengawasan di lapangan barulah jera. Pola pikir seperti ini yang menjadi kesusahan bersama. Keadaan seperti ini menjadi hambatan untuk membuat sistem perdagangan di Indonesia menjadi maju. Kita akan berhadapan dengan krisis kepercayaan konsumen.

 

Mengedukasi pelaku usaha hingga masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa pihak mungkin antusias, tetapi bisa saja sewaktu-waktu dipengaruhi oleh rekan dagangnya yang acuh tak acuh. Seperti kasus, tahun ini si pelaku dagang mau menera alat dagangnya, tetapi tahun depan belum tentu, karena melihat pelaku usaha yang lain tidak menera alat dagangnya. Dengan keadaan seperti ini kita menjadi skeptis.

 

Metrologi menjadi acuan bagi masyarakat untuk membangun kepercayaannya pada penerapan sistem dagang di Indonesia. Metrologi mengurangi hambatan teknis untuk perdagangan. Alat dagang dengan ukuran tepat, transparan, andal serta dapat dipercaya tentu sejalan meningkatkan Indeks Kepercayaan Konsumen Indonesia. Meningkatnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) sejalan dengan meningkatnya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

 

Tentu konsumen seharusnya lebih percaya membeli kebutuhan pokok yang diukur dengan alat takar yang telah dilegalkan ketimbang alat takar yang masih diragukan kebenarannya. Jadi, konsumen dapat menilai sendiri apakah si pelaku usaha jujur dengan timbangannya atau tidak. Semua itu terlihat dari alat timbangan yang digunakan.

 

Ke depannya, pemerintah optimis, masyarakat Indonesia sebagai konsumen dapat teredukasi dengan baik. Akan ada masanya dimana masyarakat yang melek metrologi tidak akan mau membeli pada toko/kedai/kios bilamana timbangannya belum ditera oleh pihak pemerintah.

 

Ukuran yang tidak sebanding dengan pengorbanan masyarakat tentu menjadi perhatian pemerintah. Penyimpangan seperti ini kelihatannya kecil, tetapi merugikan hajat hidup masyarakat sebagai konsumen Indonesia. Menjaga kepercayaan konsumen hukumnya adalah wajib. Harga kebutuhan manusia semakin melambung akibat inflasi, jangan sampai ikhwal ketidakjujuran alat ukur menjadi persoalan yang semakin meresahkan masyarakat Indonesia.

(*)

telah terbit di Majalah Kemendag tanggal 31 Juli 2023

http://pusbinjfdag.kemendag.go.id/wp-content/uploads/2023/07/kompeten-edisi-2_rev_kompress-1.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM