CERPEN: Alektorophobia


https://sorotdaerah.net/alektorophobia/
Oleh: Penny Charity Lumbanraja
Di suatu kala, terdapat suatu kampung yang asri dan tentram. Antar warga sangat akrab dan peduli satu dengan yang lainnya. Di dalam kampung tersebut banyak sekali dibangun perumahan-perumahan kecil dengan tanah berukuran 10m x 14m. Di atas tanah perumahan tersebut dibangunlah rumah kecil tipe 45 dengan ukuran 8m x 12m.
Letak kampung ini cukup jauh dari keramaian kota. Lingkungannya masih sangat sejuk. Di kampung tersebut masih ada terlihat petani yang sibuk dengan kilang padinya. Pada jadwal-jadwal tertentu dapat kita lihat anak muda dengan berusia 20-an tahun yang ayahnya berprofesi petani sudah mampu mengendari traktor. Dapat terlihat urat tangannya yang kokoh mencuat keluar sanggup mengendalikan tuas traktor yang berat itu.
Suasana kampung di sana benar-benar alami. Nilai-nilai kontemporer yang berada di kota, nampaknya belum terlalu memercik mempengaruhi kehidupan masyarakat kampung tersebut.
Ada salah satu perumahan, nama perumahan itu adalah Perumahan Taman Sari. Bisa bayangkan, rumah-rumah di perumahan tersebut tidak terbuat dari batu bata, melainkan dari batako. Yang pasti, rumah-rumah tersebut diperuntukkan untuk kelompok rumah tangga yang secara finansial berada di bawah kemampuan rata-rata atau standar.
Di dalam kelompok perumahan tersebut terdiri atas 48 kepala rumah tangga yang masing-masing mendiami rumah, yang terbagi menjadi 2 blok, blok A dan blok B.
“Mang, sudah banyak saja ayam-ayammu”, ujar Yono.
“Banyak apanya, Cuma beberapa ekor saja pun kau bilang banyak”, ujra Mang Kasim dengan tawa kecilnya.
“Ya, banyaklah. Karena masih kecilnya ayammu ini, makanya kau bilang sedikit. Kalau sudah besar ayam-ayammu ini, cukup untuk memberi makan 1 perumahan ini”, sahut Yono.
“Eheh, yang kau kiranya aku jurangan ayam, peternak ayam?”, jawab Mang Kasim.
“Sudahlah mang, kontrakkan saja 1 rumah ini untuk ayam-ayammu”, ledek Yono.
“Ah, ada-ada saja kau ini. Untuk apa aku kontrakkan rumah untuk ayam, padahal banyak orang diluar sana yang tidak mempunyai tempat tinggal”, jawab Mang Kasim atas ledekan Yono.
“Perumahan ini bakalan ramai dengan ayam-ayammu, Mang”, ujar Yono.
Kampung perumahan itu sepi penghuninya, lantaran mayoritas penduduknya bermatapencaharian buruh di pabrik-pabrik daerah pelabuhan yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka. Sehingga para pekerja tergolong sangat sibuk bekerja dari subuh hingga sore hari menjelang malam.
“Aduh, hancur semua bunga-bungaku ini. Ayam-ayam siapa sih ini?”, keluh Siti, seorang dara berusia 20 tahun yang gemar menata halaman mungilnya.
“Kenapa sih kamu nak, pagi-pagi sudah merepet”, tanya Ibu.
“Ini nih Bu, ayam-ayam siapa yang ,merusak tanaman, mengotori halaman dan teras rumah kita ini”, ujarnya dengan geram.
“Ya, tinggal usir saja loh nak, masalah yang mudah kok dipersulit sih”, balas Ibunya.
“Ibu taukan, menanam bunga-bunga ini cukup mampu mampu melatih kesabaranku, datang ayam-ayam sialan ini, argh…. Ayam-ayam siapa sih ini, Bu?”, tanyanya lagi.
“Ibu gak tau loh Nak, sudah-sudahlah. Malu ditengok tetangga. Anak gadis ibu ini kok cerewet sekali, bisa kena sandungan kita sama tetangga nanti”, jawab Ibunya meledek.
Rata-rata usia ayam Mang Kasim mesih sekitar 1 bulanan, sehingga merupakan hal yang baru bagi penghuni perumahan tersebut.
Hari demi hari berganti. Kondisi yang didapati oleh Siti adalah keluhan setiap hari apabila setiap kali ia melihat bunga-bunganya hancur, tanah dan kotoran ayam berserakan dimana-mana. Hal itu semakin membuat geram Siti.
“Mang, nampaknya anak gadis pak Budi itu tidak suka sama ayam-ayammu”, ujar Yono sebagai tetangga sebelah rumah Mang Kasim yang terpisah oleh blok saja.
“Ah, masa sih, saya kok gak tau sih”, tanya Mang Kasim.
“Iya loh Mang, dia belum tahu, ayam-ayam ini adalah milikmu”, sahut Yono.
Lokasi kandang dan rumah Mang Kasim berada pada ujung perumahan yang dibatasi oleh tembok besar.
“Apa hanya dia yang tidak suka sama ayam-ayamku ini”, tanya Mang Kasim kepada Yono.
“Nampaknya sih begitu, Mang. Orang-orang ini mana ada yang punya halaman serapi berdekatan dengan pohon besar yang teduh dan tertata seperti itu sekalipun sempit kalau tidak rumahnya Pak Budi”, ujar Yono.
Di waktu bersamaan,
“Bu, kenapa sih kerjaan ayam-ayam ini mengais dan merusak tanaman saja”, geram Siti kepada Ibunya.
“Yah, itu sudah naluri ayam lah, Nak. Kenapa kamu tanya pada ibu, emang kamu kira Ibu induk ayam yang menurunkan sifat begitu pada anak ayam”, ledek Ibu kepada Siti.
“Bu, aku sudah tidak tahan lagi. Kita pagar saja rumah ini, Bu”, ujar Siti dengan ketus.
“Ah, kamu ini berlebihan sekali. Apa kata orang sama kita, parah itu namanya”, ketus Ibu kepada Siti.
“Iya Bu, tapi Ibu gak malu halaman rumah kita begini terus. Apa kata orang Bu, punya anak gadis tetapi halaman rumahnya seperti tak karuan begini”,ujar Siti.
Waktu terus berjalan, Mang Kasim merasa banyaknya ayam semakin berkurang. Padahal ayam-ayamnya tidak pernah mengalami kematian atau diserang virus yang mematikan. Mang Kasim sangat menyenangi ayam-ayamnya. Dia sangat bersedih hari. Karena setiap hari ayam-ayamnya semakin berkurang.
“Bu, nampaknya ayam-ayam itu sudah jarang datang kerumah ini yah?”,tanya Siti kepada Ibunya dengan girang teringat mengenai ayam sembari menyantap hidangan ayam masakan Ibunya.
“Iya yah, nampaknya selera ayam bisa berubah, ya”, ledek Ibunya kepada Siti.
“Apaan sih maksud Ibu”, sahut Siti.
“Kan kemarin ayam-ayam itu masih kecil, sekarang ayam-ayamnya makin dewasa, tau membedakan perilaku yang baik dan yang menyusahkan orang lain”, ledek Ibunya lagi.
“Ah, Ibu ini bercanda saja sama aku, huuh, aku gak suka ayam hidup Bu, aku sukanya ayam mati begini, ayam yang sudah diolah begini. Akhir-akhir ini aku kok senang ya Bu, makan ayam terus”, ujar Siti kepada Ibunya.
“Enak ya? Ibu gak ada nyicipin masakannya, takut kolesterol Ibu nanti jadi menaik”, ujar Ibunya.
“Iya Bu, Ibu yang masak, ya?” tanya Siti.
“Enggak ah, tetangga sebelah kita rajin masak ayam. Terus dibagikan kepada kita”, ujar Ibu.
“Iya Bu?, masa sih, dalam rangka apa?”, ujar Siti dengan penasaran.
Di sore harinya, sembari Siti menyapu halaman, saat membuang sampah dedaunan halaman rumahnya. Ia dikejutkan dengan bau dari dalam bungkusan plastik hitam yang besar.
Saat Ia membuka kantungan plastik itu. Ia melihat kumpulan bulu-bulu ayam yang sangat bau, kotor, dan menjijikkan.
“Huuh, kenapa bulu-bulu ayam ini ditumpuk di dalam plastik ya?” gumam Siti di dalam hati.
Setiba kembali ke rumah.
“Ibu, tidak pernah sebelumnya seperti ini. Kok, tadi aku lihat ada sampah bulu ayam ya, Bu, banyak sekali di tempat sampah kulihat, tetapi ditumpuk. Ada yang baru buat acara, ya Bu?”, ujar Siti dengan penasaran.
“Iya yah?, Ibu juga heran deh”, ujar Ibu.
Akhirnya dengan perasaan penasaran. Keduanya melanjutkan aktivitas sore seperti biasa.
Dengan perasaan gundah gulana, akhirnya Mang Kasim berjalan melewati depan rumah Ibu Ratna. Namun, ia enggan untuk bertanya kepada keduanya. Ibu Ratna dan Pak Tano sedang berkumpul bersama di ruang teras rumah. Karena dilihat mondar-mandir di depan rumah sambil melihat-lihat ke arah pohon besar di samping rumahnya. Akhirnya, Pak Tano bertanya langsung.
“Kenapa, Mang?, dari tadi mondar-mandir di depan rumah”, tegur Pak Tano.
“Iya Pak, lagi nyari ayam-ayam saya, ujar Mang Kasim kepada Pak Tano.
“Gak ada lagi ayam-ayam bapak di pohon ini, kalaupun ada, itu sudah jarang sekarang. Sebelumnya, pohon ini ramai dengan ayam-ayam Bapak,” ujar Pak Tano.
“Apa mungkin dicuri orang ya Pak? Banyak sekali ayam saya yang sudah hilang Pak”, gumam Mang Kasim dengan pelan.
Mendengar percakapan kecil tersebut dibalik jendela, Siti menjadi merasa bersalah kepada Mang Kasim dan dipenuhi rasa ingin tahu kemanakah perginya ayam-ayam Mang Kasim.
***
Keesokan harinya, hujan turun dengan derasnya, Siti duduk termenung di ruang tamunya. Dibalik jerjak jendelanya. Ia melihat ke arah ke luar terlihat beberapa ekor ayam berteduh di balik pintu menggigil akibat percikan air hujan ke teras rumahnya yang membuat dingin dan basah. Akhirnya, Siti membuka daun pintu rumahnya, agar angin hujan dapat masuk ke rumah sehingga angin hujan tersebut tidak tertahan di teras rumahnya.
Entah mengapa, riuh terdengar di sebelah rumahnya. Rumah Pak Tano dan keluarga pak Budi dibatasi oleh tanah kosong yang digunakan sebagai lapangan bulu tangkis. Terlihat Pak Budi, sedang menyerang ayam-ayam yang berteduh di teras rumahnya. Ia terlihat geram dan memasang banyak perangkap untuk menangkap ayam-ayam tersebut. Hal itu membuat Siti curiga dan segera memberitahukan hal tersebut kepada Ibunya.
Ibu Ratna dan Siti melihat kejadian tersebut bersama-sama di balik jendela samping rumahnya.
“Bu, ternyata Pak Budi yang selama ini menangkap ayam-ayam Mang Kasim, kan?” ujar Siti dengan pelan kepada Ibunya.
“Iya, mungkin saja Nak, ini ulah Pak Budi selama ini”, sahut Ibunya.
Walaupun kejadian tersebut telah diketahui oleh Siti dan Ibu Ratna, namun keduanya bertindak seolah-olah tidak tahu hingga tiba waktunya Istri Pak Budi memberikan menu olahan ayam semur kepada mereka.
“Bu Ratna, ini ada sedikit ayam semur. Diterima ya Bu”, ujar Istri Pak Budi.
“Oh, terima kasih banyak ya, Bu. Kok sering masak ayam ya Bu?” tanya Ibu Ratna yang berusaha mencari informasi tertentu.
“Iya Bu, Pak Budi suka bawa ayam, tapi gak suka makan ayam”, ujar Istri Pak Budi.
Oh begitu ya Bu, terima kasih banyak ya”, sahut Bu Ratna.
Setibanya Istri Pak Budi pulang dari rumah Bu Ratna. Pada siang harinya, Ibu Ratna menceritakan kejadian tersebut kepada Siti.
“Bu, berarti Pak Budi tidak suka dengan ayam. Pak Budi itu phobia ayam Bu, ini ya, namanya Alektorophobia”, jelas Siti kepada Ibunya sambil memegang telepon genggam.
“Iya, iya. Ibu bilang saja nanti pelan-pelan kepada Mang Kasim supaya dia bisa menjaga ayam-ayamnya”, ujar Ibu.
“Pas itu Bu, berarti yang selama ini Siti makan itu ayam mati dong, Bu”, sahut Siti dengan geli.
“Haha, iya. Itulah, jangan memperlakukan ayam seperti itu”, ledek Ibu kepada Siti.
Sekian
ig: penny_lraja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM