CERPEN: Balon
http://sorotdaerah.net/balon/
Oleh: Penny Charity Lumbanraja
“Aduh, sudah semester 7 saja. Mata kuliah Metopel (Metode Penelitian), buat aku galau saja”, gumam Elsa di dalam hatinya.
Elsa, Mahasiswi Jurusan Ilmu Statistik. Kuliah di Perguruan Tinggi di kota Medan. Kini tiba waktunya bagi Elsa harus memikirkan tugas akhirnya. Ia ingin cepat-cepat menamatkan studinya, namun berada dalam pergumulan yang berat, karena sulitnya mengambil topik permasalahan yang ingin dijadikan sebagai suatu permasalahan yang hendak ditelitinya.
Apalagi bidang kajian ilmunya cukup sulit baginya. Namun, hal itu tidak membuatnya terpuruk.
“Gel, beri aku masalah. Aku butuh masalah”, ujarnya kepada Gelis sembari duduk di meja belajar perpustakaan.
“Kenapa sih kamu Sa, lebay banget deh”, jawab Gelis dengan ketus.
“Eh, kamu kok gak terbeban sama sekali, ya?, kita sudah semester 7 loh. Sudah terlalu lama bagi kita kalau kita belum tahu masalah apa yang mau diteliti”, ujar Elsa kepada Gelis.
“Jangan pacu-pacu kali lah Sa, Nikmati ajalah. Semua mahasiswa mengalaminya kok. Sama-sama kita jalani”, katanya kepada Elsa.
“Waktu itu gak terasa berjalan loh, menghabiskan waktu itu sebentar sekali loh. Duduk-duduk, mondar-mandir gak jelas bisa habis waktu kita,”tutur Elsa.
“Jangan takut kali lah Sa, it’s okay. Nikmati aja. Pelan-pelan kita jalani”, sahut Icha.
“Jangan takut kali lah Sa, it’s okay. Nikmati aja. Pelan-pelan kita jalani”, sahut Icha.
“Kalau pelan-pelan dijalani gak akan nyampe-nyampe loh Cha, kita gak akan tahu kendala yang akan kita hadapi nanti, ayolah kita progres sama-sama. Sama-sama kita mulai”, bujuk Elsa kepada kedua temannya.
“Hem, iyalah Sa, kau buka celah ya, kami ngikut-ngikut kau aja dari belakang”, jawab Gelis dengan santai.
Setiap waktu, yang dipikirkan oleh Elsa adalah bagaimana ia dapat menemukan suatu permasalahan. Hal itu menjadi beban baginya. Di meja makan keluarga.
“Apa masalahnya, ya?”, gumamnya dengan refleks di meja makan saat makan siang bersama dengan keluarga.
“Apa masalahnya, ya?”, gumamnya dengan refleks di meja makan saat makan siang bersama dengan keluarga.
“Ada apa, Nak?”, tanya Ayah Elsa kepadanya.
“Aku suntuk Yah, aku bingung mau ambil topik apa untuk penelitianku nanti”, gerutu Elsa.
“Jangan mudah-mudah suntuk lah, Nak. Coba perhatikan kondisi di luar sana, maka kamu akan menemukan suatu masalah”, nasihat Ibu kepadanya.
“Bukan masalah yang Ibu maksud, Ibu gak mengerti maksud Elsa”, gerutu Elsa lagi kepada Ibunya.
“Nak, hidup ini gak serumit mengerjakan tugas akhir, banyak masalah diluar sana yang jauh lebih besar dari apa yang kamu bayangkan”, nasihat Ayah kepada Elsa.
“Iya Yah, maka dari itu, beri Elsa saran”, ujar Elsa kepada Ayah.
“Makanya, sering baca buku seperti Ayah. Sering-sering nonton berita. Setiap masalah itu gak hanya bisa diselesaikan dari satu persepsi. Kita bisa tinjau dari banyak persepsi. Namanya juga meneliti.
Contohnya kasus hambatan pendistribusian pasir untuk pembangunan suatu proyek besar, apa yang menjadi hambatannya?, nah, jangan tinjau dari satu persepsi, tinjau dari segi hukum, ekonomi, sosial, politik bahkan ilmu sains. Kamu cekokin ilmu statistikmu juga bisa loh, Nak.”, sahut Ayahnya yang merupakan tenaga akademik di bidang Ilmu Fisika.
“Oh begitu ya Yah?”, anguk Elsa.
“Kreatiflah dalam berpikir”, ujar Ayahnya meledek Elsa.
Hari demi hari berganti. Hampir setiap hari Ia pergi ke kampus untuk mencari inspirasi. Pikiran Elsa hanya terfokus pada bagaimana bisa memperoleh suatu masalah yang dapat menginspirasinya untuk meneliti. Setiap harinya, mondar-mandir memasuki ruangan perpustakaan, melihat-lihat judul jurnal yang telah dilakukan peneliti sebelumnya.
Namun, Ia juga belum mendapatkan masalah yang dapat diteliti olehnya. Jam sudah menunjukkan pukul 13.22 WIB, tibalah waktu baginya untuk bergegas pulang dari kampus menuju rumahnya.
Di dalam perjalanan menuju keluar gerbang kampus, tiba-tiba, ia dikejutkan oleh seorang pria tua parobaya yang sedang berjalan dengan kain gendongan mengikat balon-balon di punggungnya.
Balon-balonnya sangat usang, dan kurang menarik. Ia berjalan tanpa alas kaki di tengah teriknya matahari. Kulitnya sangat hitam, kurus, dan kecil. Ia memakai baju yang sangat lusuh, memakai peci untuk menutupi kepalanya, serta memakai sarung yang sudah robek alias compang-camping.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah, pria penjual balon itu memakai tongkat yang dikepit di kedua lengannya. Penjual balon itu cacat pada kedua kakinya.
Hal itu membuat Elsa sangat terpukul, mengapa hal ini terjadi pada dirinya. Hal itu cukup membebani pikirannya, namun tidak mampu ia angkat sebagai masalah untuk penelitiannya.
Setiba di kamar kecilnya, ia masih teringat akan kejadian yang ia lihat tadi siang. Hatinya teriris dan cukup menampar dirinya yang selama ini, bahwa ilmu yang dia miliki belum dapat ia kontribusikan untuk kehidupan orang lain. Hingga pada akhirnya,
“Aku harus bisa memikirkan hal yang dapat berperan untuk bangsa ini”, gumamnya di dalam hati. Yang terlintas di hatinya bukan lagi penelitiannya, tetapi bagaimana kondisi kehidupan rumah tangga bapak penjual balon, bagaimana kondisi anak-anaknya, bagaimana sekolah anak-anaknya.
Dengan menjual balon, apa yang bisa dimakan oleh keluarganya, bagaimana sumber nutrisi makanan keluarganya. Mengapa kedua kakinya bisa seperti itu. Hal itu cukup membuatnya terbeban. Hingga pada akhirnya, Ia berpikir, apakah ada sumber energi listrik di rumah bapak tersebut.
Dengan melihat keadaan bapak penjual balon tersebut, ia dapat menemukan inspirasi untuk penelitiannya.
Beberapa hari kemudian di meja belajar perpustakaan.
“Gimana Sa, udah bisa buka celak?”, tanya Gelis kepadanya.
“Udah dong, kau buru lah. Ini baru saja menjumpai dosen pembimbing”, jawab Elsa kepada Gelis.
“Iyalah, iya. Aku juga lagi mikirin judul nih. Jadi, kearah mana kan kau buat penelitianmu”, sahut Gelis kepada Elsa.
“Ilmu Statistik dong, percuma juga aku cerita sama mu, kau gagal paham nanti”, ledek Elsa kepada Gelis.
“Aku suntuk nih mikirin judul”, kelus Icha.
“Jangan judul yang kamu pikirkan Cha, masalah loh masalah. Judul bisa belakangan. Kalau kau udah punya masalah entar judul itu bisa disesuaikan”, saran Elsa kepada Icha dan Gelis.
“Ya, baiklah”, tutur Icha kepada Elsa.
“Kalau aku maju duluan seminar proposal daripada kalian di bulan ini, aku mau kalian dua memenuhi permintaanku, masing-masing”, tantang Elsa kepada Icha dan Gelis.
“Apa itu?, jangan mahal-mahal ya, banyak pengeluaranku untuk penelitian ini”, tanya keduanya serentak.
“Ah, gak mahal-mahal kok. Aku mau kalian berdua membelikan aku balon yang dijual sama bapak penjual balon yang jualan balon di pintu gerbang kampus kita ini. Kalian berdua harus cari bapak itu”, ujar Elsa kepada keduanya dengan ketus.
“Penjual balon kok didepan pintu gerbang sih?”, tanya Icha dengan penasaran.
“Iya dong, Eh, aku maunya balon bapak itu. Dan itu challenge sama kalian, Bapak itu nomaden. Jadi kalian harus dapatin balon-balon bapak itu untuk ku.”, Ujar Elsa dengan tegas kepada Icha dan Gelis.
“Ok ok, baiklah”, tutur Icha.
“Tapi kenapa mesti balon bapak itu?”, tanya Gelis dengan penasaran.
“Entar kalian berdua tahu sendiri”, gumamnya di dalam hati.
Komentar
Posting Komentar