OPINI: Mengintip Peluang Masuk PTN Jalur Non-Tes
Penny
Charity Lumbanraja
Penerimaan calon mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri Jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Tahun 2020 telah resmi dibuka oleh Kemendikbud. Ketentuan penerimaan mahasiswa untuk tahun depan ini memiliki sedikit perubahan baik pada persyaratan sekolah maupun siswa meskipun hampir sama dengan ketentuan yang diterapkan pada SNMPTN 2019. Salah satunya, jatah penerimaan dari calon mahasiswa pada tahun ini yang bersekolah akreditasi A sebanyak 40%, akreditasi B sebanyak 25% dan sekolah akreditasi C dan lainnya adalah 5%.
Sebenarnya, penerimaan calon mahasiswa jalur non tes ini memiliki perubahan nama. Dulu istilah sederhananya adalah PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) atau bahasa eloknya jalur undangan, dan SNMPTN itu sendiri adalah jalur masuk ke PTN dengan seleksi tertulis. Begitupun, kuota penerimaan jalur undangan tidak segemuk yang sekarang. Jika diakumulasikan, kesempatan calon mahasiswa untuk berkompetisi melalui seleksi ujian tertulis proporsinya hanya 30%.
Perbedaan proporsi jalur penerimaan yang signifikan ini sebenarnya dianggap disesuaikan dengan jumlah pendaftar (peminat) jalur SNMPTN yang kian meningkat. Meskipun, pada Tahun 2019, pendaftar SNMPTN mengalami penurunan 18 %. Hal ini disebabkan, sistem penerimaan jalur non-testing pada tahun 2019 memperhatikan akreditasi sekolah, baik A,B,C, dan sekolah tak berakreditasi. Kemenristekdikti (nama sebelum kemendikbud) menjelaskan sistem penerimaan diperketat agar diperoleh calon mahasiswa yang benar-benar berkualitas melalui jalur ini.
Pembagian proporsi yang berbeda-beda pada setiap sekolah yang berakreditasi (A,B,C, non akreditasi) sebagai gambaran jatah penerimaan dapat menjadi salah satu tolak ukur. Pada umumnya, siswa berlatarbelakang sekolah akreditasi A memiliki budaya maupun mental belajar yang jauh lebih baik daripada siswa yang berasal dari sekolah non-akreditasi.
Sistem penerimaan jalur SNMPTN memberikan peluang secara terbuka kepada calon mahasiswa yang akan menghuni PTN tanpa seleksi ujian tertulis. Biasanya, mereka beberapa PTN (lebih) menyukai cikal bakal mahasiswa yang memiliki prestasi (gemilang) seperti pernah menjuarai kompetisi olahraga (tingkat regional, nasional atau internasional), prestasi menjuarai olimpiade dan bentuk prestasi-prestasi lainnya yang menyertakan sertifikat-sertifikat pendukung pada saat mengunggah berkas.
Namun, apakah itu selamanya benar? Salah satu penerapan penerimaan dengan akreditasi lebih kepada pemenuhan secara administrasi daripada kualitas siswanya. Apalagi, sekarang ini penerimaan siswa sistem zonasi dapat menggugurkan kesempatan siswa yang notabene berprestasi, tetapi lokasi rumahnya dengan sekolah negeri notabene akreditasi A yang ia tuju tidak sesuai dengan ketentuan (jauh) sehingga menghilangkan kesempatannya untuk bersekolah di tempat tersebut.
Belum lagi, istilahnya memainkan nilai siswa. Guru mencuci nilai siswanya. Bahasa ringannya cuci rapor, ditambah lagi latarbelakang sekolahnya berakreditasi A. Bagaimanapun mental-mental juang seperti ini dapat mengikis kesempatan siswa lain yang mau berjuang kompetitif secaramurni. Belum lagi, mereka yang berlatarbelakang dari sekolah non-akreditasi, sangat tipis peluangnya memenangi kursi PTN dengan jalur “lempang” ini.
Sakitnya, kita sedang mengikis pelan-pelan kesempatan bagi mereka siswa-siswa yang terpinggirkan (dari sekolah rendah akreditasi, tak punya rekam jejak prestasi memukau) untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Salah satunya yaitu mengecap pendidikan di PTN.
Dominan, banyak calon mahasiswa yang kekeh ke PTN, meskipun PTN tersebut lokasinya di pelosok tanah air. PTN selalu menjadi buruan bagi peminat-peminatnya. Namanya yang kuliah di instansi negeri sampai sekarang masih memberikan nuansa yang lebih baik ke kepuasan dirinya. Selain itu, prasarana dan sarana pendidikannya yang (mungkin) lebih baik daripada di PTS dengan membayar uang kuliah yang telah disubsidi oleh pemerintah.
Pertanyaannya, apakah mereka yang diterima benar terjamin berkualitas melalui jalur ini? Mengingat, sistemnya tidak sepenuhnya adil diadakan. Dalam hal ini, saya sedang tidak berkomentar mengenai pantas atau tidak pantasnya diterima calon mahasiswa tersebut di PTN melalui jalur non-testing. Hanya saja, apakah sudah dengan benar sekolah mengadakan nilai siswa sesuai dengan kemampuannya?
Saya juga tidak sedang menyatakan bahwasanya semua nilai siswa yang akan mengikuti program ini bisa dipermainkan, tetapi siapa yang bisa menjamin penuh adanya perilaku yang adil dari pendidik memberikan nilai siswanya di sekolah? Mengapa saya katakan begitu, karena pada kenyataannya, sistem pemberian nilai yang berasal dari sekolah negeri akan berbeda signifikan dengan sistem pemberian nilai dari sekolah swasta. Itulah sebabnya, mengapa bangku-bangku PTN melalui jalur ini lebih banyak diduduki oleh mereka yang berasal dari sekolah negeri.
Manajemen Sekolah
Sekolah negeri dan sekolah swasta pada prinsipnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing ditinjau dari sistem pengelolaan sekolahnya. Perbedaan sikap dalam mengelola sekolah tentu akan menghasilkan mutu lulusannya yang berbeda juga. Hal ini dapat diindikasikan dengan kemampuan ataupun karakter yang akan diangkut dari lulusan tersebut dimanapun dia kelak, baik menghadapi jenjang pendidikan di perguruan tinggi, maupun yang akan langsung terjun bekerja di masyarakat.
Sekolah-sekolah swasta pada umumnya menyeleksi siswa yang benar-benar berkompeten untuk dapat memperolah gambaran mental belajar yang bergairah yang akan dia hadapi selama menjalani pendidikannya di lingkungan sekolah tersebut. Kondisi lingkungan belajar di sekolah swasta akan memberikan pengaruh yang lebih baik, baik dari kondisi fisik dan nonfisiknya. Guru swasta pada umumnya mendapatkan hak prerogatifnya dalam memberikan nilai berapapun kepada siswanya dan nilai tersebut merupakan gambaran asli kemampuan yang dimiliki siswanya. Orang tua tidak berhak mengintervensi guru dalam memberikan nilai kepada anak didikannya. Itulah sebabnya, siswa yang berasal dari sekolah swasta mampu bersaing secara jujur dan mandiri memperoleh nilainya. Maka tak heran, coba kita perhatikan sendiri, mana ada siswa tinggal kelas di sekolah negeri, tetapi siswa tinggal kelas di sekolah swastaada.
Manajemen di sekolah negeri berupaya untuk mengemas menarik sekolahnya secara fisik agar dapat mengambil perhatian pemerintah daerah, sehingga citra sekolah negeri tersebut baik. Citra sekolah yang baik, menggambarkan penyelenggara pendidikan di sekolah adalah bermutu. Sedangkan kondisi fisik dan nonfisik sekolah swasta dikemas dengan baik untuk memperoleh perhatian, simpati dan empati masyarakat agar citra sekolah tersebut menjadi tujuan bagi masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Meskipun dengan biaya yang jauh lebih mahal daripada biaya bersekolah di sekolah negeri. Kondisi ini telah terjadi sejak era reformasi khususnya sejak diberlakukannya UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang desentralisasi (otonomi) daerah.
Mengacu pada itu, kita mengharapkan sikap guru yang profesional serta adil dalam memberikan nilai kepada siswanya. Penilaian bisa dilihat dari hasil belajar melalui ujian tertulis, lisan dan praktek yang menggambarkan penguasaan pengetahuan yang ia peroleh. Bukan hanya itu, sikap kematangan kepribadian, sosial, dan juga spiritualnya. Penilaian yang adil menjadi salah satu tolak ukur yang akan menentukan dimana siswa tersebut bersikap untuk menentukan bidang yang akan ia geluti. Sehingga program SNMPTN ini dapat berlangsung dengan hikmat.
Pembekalan mental dari guru kepada siswa yang akan mengikuti program ini juga perlu ditanamkan. Persiapkan daya juang belajar dan mental diri. Ingat, jangan mendua hati. Bagi mereka yang nantinya menang, harus mengambil pilihan PTN tersebut. Jangan merampas 30% lahan orang lain yang ingin berjuang melalui jalur seleksi ujian tertulis. Bagi mereka yang kalah, jangan pula berkecil hati. Banyak jalan untuk berhasil dan tetap bersemangat dengan optimis.
(*) Penulis adalah bergiat di Perhimpunan Suka Menulis.
Tanggal Terbit:11/12/2019
Komentar
Posting Komentar