OPINI: Anak Jalanan, PR Pemerintah
Penny Charity Lumbanraja
Mereka ramai-ramai keluar menyusuri jalanan di pusat kota metro dan megapolitan. Masih terang, artinya wajah yang terlampau sangat belia dapat terlihat dengan jelas. Ada yang masih berseragam sekolah sambil menenteng kresek untuk mengamen. Bahkan ada juga yang sampai nekat mengecat tubuhnya dengan cat minyak berwarna perak untuk menarik perhatian para pengemudi lain.
Kenyataannya, fenomena anak jalanan di berbagai ibu kota merupakan gambaran kesenjangan sosial yang belum teratasi dengan maksimal. Ini persoalan yang rumit karena penyebabnya yang amat kompleks. Bisa karena migrasi penduduk yang tak terkendali. Artinya dengan harapan mereka mengadu nasib ke perkotaan sekiranya dapat memeroleh kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
Namun, karena keterbatasan kemampuan dan keahlian akhirnya mereka mengalami kesulitan untuk bersaing dengan orang lain. Akibatnya, muncullah persoalan baru. Kepadatan penduduk semakin meningkat. Angka kelahiran di daerah perkotaan semakin tinggi. Hal itu dapat ditandai dengan banyaknya bertebaran anak-anak di jalanan.
Masalah hak pendidikan anak juga akan menjadi persoalan ke depannya. Tak sedikit dijumpai anak-anak di jalanan yang putus sekolah karena harus menanggung beban ekonomi keluarga. Meskipun sebagian di antaranya tetap berusaha bertahan sekolah, maka jalanan menjadi ranah bagi mereka untuk menambal biaya pendidikan.
Mirisnya, anak-anak ini muncul di jalanan yang radiusnya tidak jauh dari gedung pemerintahan negara. Yang jadi pertanyaan, apakah para pemerintah tidak melihat kehidupan menyedihkan yang dialami anak jalanan. Atau para pemerintah tutup mata dan tidak berupaya sepenuhnya untuk mengentaskan persoalan ini yang kian hari meningkat di jalanan ibu kota. Apakah para pemerintah tidak cukup sensitif dengan banyaknya anak jalanan di persekitaran singgasananya?
Tentu sangat memilukan ketika melihat seorang anak yang masih sangat muda tetapi harus dibebankan untuk mencari nafkah. Mereka pasti kehilangan hak-hak sosialnya di masa muda. Tak hanya itu, beragam resiko menjadi teror bagi anak jalanan di setiap hari. Resiko kecelakaan, perdagangan anak, pergaulan bebas hingga ancaman kekerasan pada anak secara fisik, psikis hingga seksual. Resiko yang dapat merenggut kondisi kesehatan anak juga menjadi kekhawatiran.
Saya pernah melihat sekerumunan anak jalanan yang mencat seluruh tubuhnya dengan cat minyak berwarna perak. Mulai dari pangkal rambut hingga ke ujung jari kaki. Hal yang ditakutkan apabila mereka terus-menerus melakukan hal demikian demi meraup penghasilan tanpa menyadari bahaya yang akan mereka derita. Tentunya akan sangat beresiko bagi kesehatan anak-anak ini.
Hari Anak Nasional yang diperingati pada tanggal 23 Juli ini menjadi momen yang tepat bagi kita untuk memberi perhatian pada persoalan anak-anak Indonesia di jalanan. Mereka adalah saudara kita dan menjadi tugas bersama untuk lebih peduli pada anak jalanan. Peduli dalam hal ini, mungkin kita dapat melakukan sesuatu untuk memperjuangkan nasib mereka.
Perhatian pemerintah dari pusat hingga ke daerah menuntut sinergitas yang jelas arahnya. Memang benar, Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan sudah lama menjadi impian negara. Apalagi mengingat jumlah penduduk yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Itu hanya akan menjadi mimpi belaka bila pemerintah tidak serius memberi ketegasan. Programnya sudah ada, aparat khusus terkait menangani hal ini yang perlu dituntut rasa kemanusiaannya. Tidak benar kalau anggaran selalu ada dialokasikan tetapi anak-anak jalanan masih saja jadi persoalan.
Perlu diingat, sebenarnya perwujudan Pasal 34 UUD 1945 merupakan kewajiban pemerintah. Anak-anak jalanan berarti terlantar di jalanan dan wajib dipelihara oleh negara. Anak-anak itu merupakan gambaran atas perlakuan eksploitasi dan diskriminasi karena ketidakberdayaan mempertahankan haknya. Mau tak mau, akibat kerasnya tuntutan hidup, mereka tak punya pilihan.
Kondisi merebaknya anak-anak di jalanan adalah salah satu fenomena ketidakadilan yang diterima anak-anak Indonesia. Masih banyak hal-hal yang tidak lazim yang harus dialami oleh anak-anak masa kini. Namun, hal demikian tidak terungkap dengan jelas dan terselubung akibat kepentingan pihak tertentu.
Belum lagi penolakan yang diterima anak jalanan di masyarakat. Adanya pelabelan bagi mereka sebagai calon pelaku kriminal menjadi alasan utama penolakan sosial yang kerap dirasakan. Anak-anak jalanan seolah menjadi hantu yang dapat mengancam kenyamanan hidup bermasyarakat. Hal ini memang benar dapat terjadi akibat beban keras yang telah mereka alami sejak dini. Beban serta tekanan yang keras terpatri di dalam jiwanya, sehingga terbentuklah cara berpikir dan perilaku yang keras pula. Bertindak nekad demi mempertahankan hidup bukan tak mungkin tidak dapat terjadi.
Sesungguhnya, peduli pada anak jalanan bukan hanya peer bagi pemerintah saja tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat diharapkan saling bahu-membahu untuk mengambil peran di dalamnya. Disiplin membayar kewajiban menjadi wujud tampak kepedulian yang dapat dilakukan. Pajak adalah kewajiban bersama dan merupakan instrumen penting yang menjawab persoalan kemiskinan di negara. Tak dapat dimungkiri, alasan kemiskinanlah yang menjadi faktor maraknya anak-anak di jalanan. Setiap kebijakan yang ditetapkan pasti membutuhkan anggaran, dan anggaran terbesar bersumber dari pajak.
Mungkin kita tak bisa seperti orang lain yang terlibat langsung dalam organisasi pemerintah dan non-pemerintah untuk mengatasi persoalan anak-anak di jalanan. Namun, hal yang dapat kita lakukan dengan bertanggung jawab pada kewajiban kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa patuh terhadap kewajiban sendiri senantiasa berdampak pada perbaikan hajat hidup anak-anak jalanan.
Anak-anak merupakan pilar yang nyata bagi sebuah bangsa di masa depan. Pilar yang kuat senantiasa menjadi pondasi yang kuat bagi negara. Keberhasilan suatu negara tentunya ditopang dari kualitas penerus bangsanya. Kita berharap ke depannya, pemerintah dapat memperluas kesempatan anak jalanan dengan memberikan layanan serta tindakan yang dapat meningkatkan mutu pendidikannya. Anak-anak merupakan aset utama paling berharga dan harus diberdayakan sejak sekarang. Jangan sampai karena perihal ketidakpedulian dan penanganan yang tidak komprehensif, kelak anak-anak ini menjadi sumber penyakit yang sulit ditangani.
(*) Penulis merupakan warga biasa dan aktif di komunitas menulis PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
Terbit: 17/07/2021
https://analisadaily.com/e-paper/2021-07-17/files/mobile/index.html#12
Komentar
Posting Komentar