ARTIKEL: Kearifan Pendidikan Mulai Dari Potensi Lokal
“Saya termotivasi mencerdaskan anak-anak bangsa. Walaupun upah yang saya terima tidak sesuai dengan apa yang saya kerjakan selama ini,” ujar Elvira Nawu.
Elvira (begitu biasa disapa) berdiri tegap memenuhi panggilannya sebagai seorang pendidik di timur Indonesia. Baginya, keterbatasan fasilitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur adalah salah satu persoalan lainnya setelah kualitas pembelajaran di kelas.
Elvira merupakan satu dari sekian banyaknya guru yang berjuang di garda terdepan pendidikan kita. Sayangnya, nasib mereka jauh dari kata sejahtera. Sebagai guru honorer, Elvira hanya diupah Rp 200 ribu sebulan, sementara banyak elit politik mengorupsi uang negara triliunan.
Walaupun digaji murah, Elvi mendidik anak-anak dengan sepenuh hatinya. Mencerdaskan anak-anak NTT menjadi tantangan tersendiri baginya. Ia tak berhenti berharap dan meyakini bahwa anak-anak yang diajarkannya kelak akan menjadi orang-orang cerdas. Mendidik di pelosok Nusantara, kata dia, bagian dari sumbangsihnya bagi tanah air dan bangsanya.
Elvira sudah mengajar selama sembilan tahun di SDI Ajang, Flores, sejak 2011. Jam mengajarnya padat. Sekitar 26 jam per minggu. Dengan gaji Rp.200 ribu perbulan, ia berjuang untuk bisa bertahan hidup bersama keluarganya. Ia bahkan rela menguras keringatnya lagi dengan berjualan kemiri sebagai tambahan penghasilannya. Meski demikian, Elvira tak pernah berpikir sedikitpun untuk berhenti mengabdi.
Tidak hanya mengajar di kelas, Elvira juga rajin beranjangsana ke rumah-rumah anak didiknya. Elvira harus berhadapan dengan medan perjalanan yang berat, untuk bisa sampai ke rumah-rumah muridnya. Ibu beranak dua ini harus berjalan kaki sekitar tiga kilometer jauhnya. Semangatnya tak pernah kendor. Melewati hutan dan menyebrangi sungai, sesuatu yang kerap ia lakoni. Baginya, semua itu menguji semangatnya untuk tetap bertahan dan takkan runtuh menempa budaya belajar anak-anaknya. Sama seperti yang diperjuangkan para pahlawan Indonesia 75 tahun silam.
Kisah pengabdian Elvira ini menjadi satu pelecut semangat bagi siapapun yang gampang mengeluh. Apalagi bagi guru-guru di kota yang tak pernah mengalami kendala keterbatasan akses pembelajaran tetapi masih bersungut-sungut dalam mengajar. Sementara Elvira dengan segepok persoalan yang dia hadapi, tetap tangguh, elastis dan tahan banting. Semua itu ia lakoni semata demi masa depam anak-anak bangsa ini yang merindukan pendidikan terbaik.
Hari ini, kita merayakan dirgahayu 75 tahun Indonesia merdeka. Perayaan kali ini menjadi cambuk bagi kita. Sebab seorang pendidik seperti Elvira yang berjuang memerdekakan anak-anak di pelosok timur Nusantara, justru tidak merasakan apa yang selayaknya menjadi haknya, tak mendapatkan apresiasi padahal kontribusinya sangat besar bagi bangsa ini.
Elvira membuka mata kita bahwa hari ini masih banyak anak-anak Indonesia yang belum menerima hak kependidikan sewajarnya. Elvira memang belum merdeka berdasarkan hak hidupnya. Akan tetapi, ia tak henti memperjuangkan kemerdekaan hak pendidikan bagi anak didiknya.
Berkelanjutan
Sejak 2015 hingga sekarang, pemerintah tak henti dalam mempersiapkan wujud merdeka belajar di Indonesia. Manfaat Kartu Indonesia Pintar (KIP) tekaj dirasakan banyak anak-anak kita. Data menyebut, KIP diperuntukkan kepada lebih dari 17,9 juta anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin. Ini merupakan sinyal baik bagi anak-anak miskin. Tetapi apakah KIP itu cukup dalam menjawab persoalan pendidikan kita?
Pentingnya pendidikan sebagai faktor penentu kualitas bangsa serta merupakan bahan bakar pertama untuk melejitkan potensi anak bangsa. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan masyarakat memfokuskan secara khusus untuk mendongkrak mutu pembelajaran di kelas. Sayangnya, potret pendidikan sepasti dihadapi Elvira adalah bukti masih gulitanya pendidikan di pedalam Nusantara.
Belum lagi tantangan infrastruktur bangunan sekolah yang tidak layak pakai, serta akses dari rumah ke sekolah. Keselamatan anak menjadi taruhannya. Meskipun dalam kondisi memprihatikan, terutama fasilitas pendidikan yang ada di daerah-daerah terpencil, tak jarang kita dengar, anak-anak tersebut tetap bersikeras mendapatkan haknya. Mereka menghadapi beraneka tantangan, seperti menelusuri hutan, turun naik bukit, menyeberangi sungai tak berjembatan dengan nyali besar, mereka lakoni demi bisa belajar.
Ketidakmerataan guru-guru di daerah juga menjadi hambatan bagi mereka untuk mengenyam pendidikannya. Jangankan berharap kualitas pendidikan yang layak yang dipersiapkan versinya pemerintah, mau berharap pendidikan sewajarnya saja, anak-anak di daerah terpencil berkorban habis-habisan. Perbedaan pencapaian ilmu tentu akan jauh dari layak dibandingkan dengan pendidikan anak-anak di perkotaan.
Namun, pemerintah tetap berupaya untuk mewujudkan kehadirannya. Pemberian layanan pendidikan yang bermutu bagi siswa-siswa di daerah terjauh, terpencil, perbatasan, termiskin, atau berpihak ke kelompok paling rentan dinyatakan sejak 2017 lalu. Program revitalisasi 49 sekolah, membangun 114 sekolah garis depan (SGD) baru di berbagai titik serta penyediaan 11 sekolah untuk peserta didik berkebutuhan khusus menjadi salah satu peran nyata yang diberikan pemerintah.
Selain itu, pendistribusian guru-guru untuk bertugas di 28 kabupaten yang berada di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Peningkatan akses layanan pendidikan tidak hanya secara fisik, layanan pembaharuan pendidikan nonfisik juga menjadi perhatian pemerintah hingga saat ini.
Kontribusi Alam dan Budaya
Lingkungan fisik tentunya berperan penting untuk mewujudkan pendidikan yang layak. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Kemampuan mengelola itu dapat diselenggarakan melalui peningkatan pendidikan formal. Tetap dasarnya kembali, mewujudkan pemerataan pendidikan.
Alam dan budaya dapat menjadi jawaban untuk mengurangi adanya kesenjangan di lingkungan masyarakat. Daerah NTT salah satunya. Kekayaan daerah NTT menjadi salah satu dongrak pergerakan ekonomi di Indonesia. Namun, dibalik melimpah kekayaan alamnya, kondisi kehidupan masyarakatnya masih berada di bawah garis kemiskinan.
Daerah NTT amat jauh dari hiruk-pikuk pembangunan kota besar, tentunya daerah tersebut harus didorong kemajuannya. Pembangunan SDM yang baik mulai dicanangkan dengan adanya peran pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai dasar utama perbaikan kualitas manusia di NTT. Pentingnya masyarakat untuk menyadari hal tersebut, tidak hanya di daerah terpencil seperti NTT, melainkan di daerah terpencil dan berpotensi lainnya.
Kekayaan budaya dan alam akan menjadi cara terbaik meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya pendidikan formal, pembaharuan sistem pengelolaan daerah, pemberian ilmu dan pelatihan kerja, serta perbaikan sarana dan prasarana akan menjadi saling bersinergis. Pemerintah dapat memulainya dengan memantau setiap potensi unggul lokal tersebut.
(*) Penulis Bergiat di PERKAMEN
https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2020/08/18/115706/kearifan_pendidikan_mulai_dari_potensi_lokal/
Terbit: 18/8/2020
Karya ini dilombakan dalam ajang Lomba Artikel dan Jurnalistik Kategori Umum yang diselenggarakan oleh Kemdikbud untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia Tahun 2020
Komentar
Posting Komentar