OPINI: Perkawinan Anak, Stunting dan Bonus Demografi

https://analisadaily.com/e-paper/2021-06-26/files/mobile/index.html#12

 


Penny Charity Lumbanraja

 

Perkawinan Anak

 

Praktik perkawinan anak semakin hari semakin meresahkan.  Teramat brutal, sebab ini persoalan merenggut hak yang semestinya wajib dipenuhi oleh anak-anak Indonesia. Lebih dari 1,2 juta anak telah menjadi korban kasus kawin anak. Mereka sepatutnya masih dalam masa anak-anak yang tumbuh dan berkembang, tetapi sudah harus menanggung beban berat kehidupan.

 

Perkawinan anak merupakan peristiwa kesenjangan sosial yang kini mulai mengancam negara. Selama ini, kasus kawin anak selalu diselubungi dan tidak pernah dikuak secara terbuka. Data yang ada pun belum secara menyeluruh untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Akibatnya, kasus kawin anak tidak pernah tuntas dan dampak buruknya mulai muncul di depan mata.

 

Kesulitan untuk menebas persoalan kawin anak sudah cukup mengakar. Salah satunya, sistem kebudayaan di berbagai daerah atau komunitas masih menghalalkan penyimpangan ini. Alih-alih persoalan ekonomi yang rumit, perkawinan anak dianggap sebagai jalan keluar. Sementara, ada hukum dari pemerintah yang mengatur soal perkawinan di Indonesia yang sifatnya tegas dan mengikat. Namun, aturan ini tidak menjadi jawaban fenomena pelik yang tengah terjadi.

 

Akhirnya, anak menjadi sasaran dan hak mereka dikekang. Bertentangan dengan aturan sosio-kultural, sasarannya anak menjadi korban dan bahayanya mereka yang tanggung sendiri. Akibatnya, muncul penyakit baru. Ada yang mengalami trauma secara mental dan fisik, sampai pada ancaman kesehatan reproduksi yang dapat membahayakan hidup.

 

Lain lagi, di perkotaan itu sendiri, kasus kawin anak terjadi akibat pengaruh kehidupan yang bebas dan vulgar. Anak- anak tersebut tidak memperoleh dan atau mengindahkan kendali yang sepatutnya menjadi petunjuk arah. Pengaruh sosial yang buruk akan membuat si anak lebih menyukai mencari jalannya sendiri sehingga mereka mengabaikan hal-hal yang layak seusianya.

 

Tak dapat dimungkiri, pun alasan perekonomian yang rendah dan lahir dari keluarga yang terbengkalai merupakan salah satu faktor internal terjadinya kawin anak. Hal ini berujung pada rendahnya  pendidikan moral yang diterima dari dalam keluarga. Intensitas perjumpaan antara anak dan orangtua menjadi sangat memprihatinkan sehingga interaksi komunikasi yang baik akan sulit tercipta.

 

Ancaman Stunting

 

Jika persoalan kawin anak tak kunjung diatasi, dampaknya ke negara pun sulit ditangani. Jangan sampai. Sebelum persoalan kawin anak, kasus gizi buruk (stunting) kini sudah cukup merunyamkan. Survei pada tahun 2019 menunjukkan sekitar 30 persen anak berusia balita di Indonesia mengalami stunting. Bukan tak mungkin, fenomena stunting akan semakin membludak yang disumbangi dari peningkatan angka kawin anak.

 

Stunting terjadi pada anak yang tidak memperoleh asupan gizi yang cukup di masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya. Status gizi buruk ini pun dapat dialami selama ibu dalam proses kehamilan si bayi. Akibatnya, bayi yang dilahirkan berpotensi rentan terhadap penyakit. Stunting pada anak dapat menghambat perkembangan otak, pertumbuhan fisik dan sistem yang mengatur metabolisme tubuh.  Sehingga, dampak stunting tidak hanya dialami anak dalam jangka pendek saja, melainkan hingga ia tumbuh dewasa.

 

Jika si anak telah mengalami stunting, produktivitas belajarnya akan mengalami kesulitan akibat perkembangan otak yang terganggu. Mungkin secara fisik proporsi tubuhnya terlihat normal, namun kapasitas kecerdasan si anak berada di bawah rata-rata. Akibatnya, si anak tidak memiliki daya untuk bersaing selama belajar. Maka kita tak bisa berharap banyak. Prestasi bagi anak-anak yang mengalami stunting cenderung sangat memprihatinkan.

 

Inilah yang menjadi kekhawatiran bagi negara. Sebab, jika mereka tidak memperoleh asupan energi yang cukup, mereka tidak akan berdaya untuk belajar. Jika mereka tidak mau belajar, maka mereka mengalami krisis ilmu pengetahuan. Sementara pengetahuan merupakan amunisi yang dapat mereka pergunakan  untuk bertahan di kehidupannya kelak. Seiring berjalannya waktu, persaingan hidup akan semakin berat. Tuntutan serta konflik yang kelak akan dihadapi menjadi alasan bagi mereka untuk terus bertahan. Namun, jika tanpa modal pengetahuan dan keahlian, maka jalan satu-satunya adalah menjadi keras, sama seperti kerasnya hidup.

 

Anak dapat mengalami stunting disebabkan alasan perekonomian. Lingkungan dengan kebersihan yang buruk serta rendahnya pengetahuan ibu tentang pentingnya asupan gizi yang cukup selama masa kehamilan juga menjadi faktor penyebab. Penting bagi si ibu untuk memperhatikan asupan nutrisi selama 1000 hari kehamilan. Tak dapat menuntut banyak pada anak perempuan untuk memahami hal demikian, karena mereka tidak pada usia yang pantas untuk mengalami proses kehamilan di usia yang dapat dikatakan terlampau dini.

 

Bonus Demografi

 

Stunting menjadi ketakutan kita bersama sementara masa bonus demografi sudah mulai di depan mata. Bonus demografi menjadi masa yang membawa kesempatan besar bagi Indonesia. Jika Indonesia memanfaatkan masa ini dengan baik maka berpotensi membawa dampak besar bagi dunia. Pada kesempatan ini, akan terjadi percepatan pembangunan di Indonesia, sehingga keberadaan Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara besar lainnya.

 

Peristiwa bonus demografi cukup langka, karena hanya dapat terjadi sekali dalam 100 tahun. Kita dapat menikmatinya di awal tahun 2025 dan berakhir di tahun 2035. Pada masa ini pula, jumlah usia produktif akan lebih banyak tiga kali lipat dari yang non-produktif. Pemuda-pemudi ini kelak diharapkan menjadi pendongkrak roda perekonomian di Indonesia.

 

Namun, kondisinya sudah mulai tampak sekarang. Indonesia 5 tahun belakangan ini tentu berbeda dengan sekarang. Kemajuan sistem teknologi yang bersamaan dengan kepadatan penduduk menjadi ciri awal era emas ini akan terjadi. Jika tren ini berhasil dilalui, maka kita akan memanennya. Jika tidak, maka inilah yang membawa bencana.

 

Mengapa tidak, semuanya dapat berkaitan? Bila pemerintah tidak tegas mengentaskan persoalan kawin anak, kelak anak-anak tersebut menjadi teror bagi negara. Sebab, selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, mereka tidak memperoleh haknya. Hak-hak tersebut dapat mencakup hak perlindungan, hak pendidikan, serta memperoleh jaminan kesehatan sejak dini.

 

Peningkatan angka pengangguran yang disertai dengan  penyimpangan kriminalitas mungkin akan terjadi, bila pemerintah tidak serius menangkap sinyal merebaknya kasus kawin anak. Tak hanya cukup menanamkan pemahaman bagi si orang tua yang memiliki pola pikir yang primitif. Orang tua harus tau jelas bahwa perkawinan anak tidak boleh dilakukan. Pola pikir demikian artinya bila mengawinkan anak dengan segera dapat mengurangi beban secara ekonomi sangat tidak masuk akal.

 

Praktik perkawinan anak merupakan tindakan eksploitasi pada hak anak. Dan yang namanya mengeksploitasi hak anak berarti orang tua sebagai tokoh utama yang merusak masa depan anak sendiri. Ini merupakan suatu kejahatan karena dampaknya dirasakan semua pihak. Sama halnya juga di perkotaan, orang tua harus mengambil sikap peduli dan memegang kendali yang tegas sehingga dapat mengarahkan anaknya pada jalan yang tepat.

 

Mutu generasi bangsa di masa datang ditentukan oleh seberapa besar peran keluarga dalam membina, membimbing, dan mendidik anak-anaknya saat ini. Peran keluarga sangat krusial dalam membentuk fondasi mental anak yang berkarakter. Ketika pondasi itu kuat, maka kelak anak-anak ini akan menjadi penopang negara yang unggul. Itulah yang menjadi cita-cita kita semua.

 

(*) Penulis adalah warga biasa dan bergiat di komunitas PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)

 

 Terbit: 26/06/2021

https://analisadaily.com/e-paper/2021-06-26/files/mobile/index.html#12


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM