OPINI: Perkawinan Anak, Stunting dan Bonus Demografi
Penny Charity Lumbanraja
Perkawinan Anak
Praktik
perkawinan anak semakin hari semakin meresahkan. Teramat brutal, sebab ini persoalan merenggut
hak yang semestinya wajib dipenuhi oleh anak-anak Indonesia. Lebih dari 1,2
juta anak telah menjadi korban kasus kawin anak. Mereka sepatutnya masih dalam
masa anak-anak yang tumbuh dan berkembang, tetapi sudah harus menanggung beban
berat kehidupan.
Perkawinan
anak merupakan peristiwa kesenjangan sosial yang kini mulai mengancam negara. Selama
ini, kasus kawin anak selalu diselubungi dan tidak pernah dikuak secara
terbuka. Data yang ada pun belum secara menyeluruh untuk menjelaskan kondisi
yang sebenarnya. Akibatnya, kasus kawin anak tidak pernah tuntas dan dampak
buruknya mulai muncul di depan mata.
Kesulitan
untuk menebas persoalan kawin anak sudah cukup mengakar. Salah satunya, sistem
kebudayaan di berbagai daerah atau komunitas masih menghalalkan penyimpangan
ini. Alih-alih persoalan ekonomi yang rumit, perkawinan anak dianggap sebagai
jalan keluar. Sementara, ada hukum dari pemerintah yang mengatur soal
perkawinan di Indonesia yang sifatnya tegas dan mengikat. Namun, aturan ini
tidak menjadi jawaban fenomena pelik yang tengah terjadi.
Akhirnya,
anak menjadi sasaran dan hak mereka dikekang. Bertentangan dengan aturan
sosio-kultural, sasarannya anak menjadi korban dan bahayanya mereka yang tanggung
sendiri. Akibatnya, muncul penyakit baru. Ada yang mengalami trauma secara
mental dan fisik, sampai pada ancaman kesehatan reproduksi yang dapat
membahayakan hidup.
Lain
lagi, di perkotaan itu sendiri, kasus kawin anak terjadi akibat pengaruh
kehidupan yang bebas dan vulgar. Anak- anak tersebut tidak memperoleh dan atau
mengindahkan kendali yang sepatutnya menjadi petunjuk arah. Pengaruh sosial
yang buruk akan membuat si anak lebih menyukai mencari jalannya sendiri
sehingga mereka mengabaikan hal-hal yang layak seusianya.
Tak
dapat dimungkiri, pun alasan perekonomian yang rendah dan lahir dari keluarga
yang terbengkalai merupakan salah satu faktor internal terjadinya kawin anak.
Hal ini berujung pada rendahnya
pendidikan moral yang diterima dari dalam keluarga. Intensitas
perjumpaan antara anak dan orangtua menjadi sangat memprihatinkan sehingga
interaksi komunikasi yang baik akan sulit tercipta.
Ancaman Stunting
Jika
persoalan kawin anak tak kunjung diatasi, dampaknya ke negara pun sulit
ditangani. Jangan sampai. Sebelum persoalan kawin anak, kasus gizi buruk (stunting) kini sudah cukup merunyamkan.
Survei pada tahun 2019 menunjukkan sekitar 30 persen anak berusia balita di
Indonesia mengalami stunting. Bukan
tak mungkin, fenomena stunting akan
semakin membludak yang disumbangi dari peningkatan angka kawin anak.
Stunting terjadi pada anak yang tidak
memperoleh asupan gizi yang cukup di masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Status gizi buruk ini pun dapat dialami selama ibu dalam proses kehamilan si
bayi. Akibatnya, bayi yang dilahirkan berpotensi rentan terhadap penyakit. Stunting pada anak dapat menghambat
perkembangan otak, pertumbuhan fisik dan sistem yang mengatur metabolisme
tubuh. Sehingga, dampak stunting tidak hanya dialami anak dalam
jangka pendek saja, melainkan hingga ia tumbuh dewasa.
Jika
si anak telah mengalami stunting,
produktivitas belajarnya akan mengalami kesulitan akibat perkembangan otak yang
terganggu. Mungkin secara fisik proporsi tubuhnya terlihat normal, namun
kapasitas kecerdasan si anak berada di bawah rata-rata. Akibatnya, si anak
tidak memiliki daya untuk bersaing selama belajar. Maka kita tak bisa berharap
banyak. Prestasi bagi anak-anak yang mengalami stunting cenderung sangat memprihatinkan.
Inilah
yang menjadi kekhawatiran bagi negara. Sebab, jika mereka tidak memperoleh
asupan energi yang cukup, mereka tidak akan berdaya untuk belajar. Jika mereka
tidak mau belajar, maka mereka mengalami krisis ilmu pengetahuan. Sementara
pengetahuan merupakan amunisi yang dapat mereka pergunakan untuk bertahan di kehidupannya kelak. Seiring
berjalannya waktu, persaingan hidup akan semakin berat. Tuntutan serta konflik
yang kelak akan dihadapi menjadi alasan bagi mereka untuk terus bertahan. Namun,
jika tanpa modal pengetahuan dan keahlian, maka jalan satu-satunya adalah
menjadi keras, sama seperti kerasnya hidup.
Anak
dapat mengalami stunting disebabkan
alasan perekonomian. Lingkungan dengan kebersihan yang buruk serta rendahnya
pengetahuan ibu tentang pentingnya asupan gizi yang cukup selama masa kehamilan
juga menjadi faktor penyebab. Penting bagi si ibu untuk memperhatikan asupan
nutrisi selama 1000 hari kehamilan. Tak dapat menuntut banyak pada anak perempuan
untuk memahami hal demikian, karena mereka tidak pada usia yang pantas untuk
mengalami proses kehamilan di usia yang dapat dikatakan terlampau dini.
Bonus Demografi
Stunting menjadi ketakutan kita bersama
sementara masa bonus demografi sudah mulai di depan mata. Bonus demografi
menjadi masa yang membawa kesempatan besar bagi Indonesia. Jika Indonesia
memanfaatkan masa ini dengan baik maka berpotensi membawa dampak besar bagi dunia.
Pada kesempatan ini, akan terjadi percepatan pembangunan di Indonesia, sehingga
keberadaan Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara besar lainnya.
Peristiwa
bonus demografi cukup langka, karena hanya dapat terjadi sekali dalam 100
tahun. Kita dapat menikmatinya di awal tahun 2025 dan berakhir di tahun 2035. Pada
masa ini pula, jumlah usia produktif akan lebih banyak tiga kali lipat dari
yang non-produktif. Pemuda-pemudi ini kelak diharapkan menjadi pendongkrak roda
perekonomian di Indonesia.
Namun,
kondisinya sudah mulai tampak sekarang. Indonesia 5 tahun belakangan ini tentu
berbeda dengan sekarang. Kemajuan sistem teknologi yang bersamaan dengan
kepadatan penduduk menjadi ciri awal era emas ini akan terjadi. Jika tren ini berhasil
dilalui, maka kita akan memanennya. Jika tidak, maka inilah yang membawa
bencana.
Mengapa
tidak, semuanya dapat berkaitan? Bila pemerintah tidak tegas mengentaskan
persoalan kawin anak, kelak anak-anak tersebut menjadi teror bagi negara. Sebab,
selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, mereka tidak memperoleh haknya.
Hak-hak tersebut dapat mencakup hak perlindungan, hak pendidikan, serta
memperoleh jaminan kesehatan sejak dini.
Peningkatan
angka pengangguran yang disertai dengan
penyimpangan kriminalitas mungkin akan terjadi, bila pemerintah tidak
serius menangkap sinyal merebaknya kasus kawin anak. Tak hanya cukup menanamkan
pemahaman bagi si orang tua yang memiliki pola pikir yang primitif. Orang tua
harus tau jelas bahwa perkawinan anak tidak boleh dilakukan. Pola pikir
demikian artinya bila mengawinkan anak dengan segera dapat mengurangi beban
secara ekonomi sangat tidak masuk akal.
Praktik
perkawinan anak merupakan tindakan eksploitasi pada hak anak. Dan yang namanya
mengeksploitasi hak anak berarti orang tua sebagai tokoh utama yang merusak
masa depan anak sendiri. Ini merupakan suatu kejahatan karena dampaknya
dirasakan semua pihak. Sama halnya juga di perkotaan, orang tua harus mengambil
sikap peduli dan memegang kendali yang tegas sehingga dapat mengarahkan anaknya
pada jalan yang tepat.
Mutu generasi bangsa di masa datang ditentukan oleh
seberapa besar peran keluarga dalam membina, membimbing, dan mendidik anak-anaknya
saat ini. Peran keluarga sangat krusial dalam membentuk fondasi mental anak
yang berkarakter. Ketika pondasi itu kuat, maka kelak anak-anak ini akan
menjadi penopang negara yang unggul. Itulah yang menjadi cita-cita kita semua.
(*) Penulis adalah warga biasa dan bergiat di komunitas
PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
Komentar
Posting Komentar