OPINI: Melanggengkan Atensi Bahasa Daerah
Penny
Charity Lumbanraja
Perihal
punahnya sebelas bahasa daerah di Indonesia ialah tanda bahwa negara ini mulai kehilangan
warisan kebudayaannya. Jangankan untuk menuturkan, mungkin tidak banyak di
antara kita yang mengetahui bahasa daerahnya sendiri. Arus modernisasi
seolah-olah menjadi hantaman besar. Sehingga, dijadikanlah alasan bahwa bahasa
daerah tak mampu beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat.
Kemajuan
teknologi dan perkembangan zaman yang tidak beriringan, menjadikan masyarakat
kehilangan gagasan mempertahankan nilai kedaerahannya. Memaknai nilai
kebudayaan yang melekat dengan urat nadi seseorang tidak ditandai dengan
penggunaan aksesoris adat. Eloknya, semua itu dinilai dengan seberapa bangga pengungkapan
bahasa daerah tersebut di tengah perbedaan lingkungan.
Hanya
saja, masyarakat saat ini cenderung malu ketika menuturkan bahasa daerahnya di
depan orang lain. Adanya pola pikir seolah-olah seseorang akan terlihat kuno
dan tertinggal ketika masih mendialekkan bahasa daerahnya di lingkungan baru. Sebut
saja, mereka yang bertinggal di perkotaan. Bahasa daerah semakin layu dan
lama-lama bertambah punah digilas roda perkembangan zaman.
Jamaknya,
generasi muda saat ini lebih percaya diri bertutur bahasa yang dikontaminasi
dengan bahasa asing. Parahnya, mereka berkoar tetapi tidak mencari terlebih
dahulu makna kata yang ditandaskan. Budaya ikut-ikutan tetapi tidak dibarengi
dengan rasa ingin tahu maksud bahasa tersebut, etis atau tidak etis bahasa itu.
Ironinya,
sudah sepi kita mendengar peribahasa-peribahasa baru yang dulunya kerap
menjamah telinga lewat tutur penutur daerah. Sementara, kian hari kian banyak
para ahli sastra daerah dari kalangan akademisi belum tentu mampu melahirkan
peribahasa baru. Ini menjadi kekhawatiran kita bersama.
Lapisan
generasi muda jangan sampai menjadi predator yang membunuh bahasanya sendiri. Membumihanguskan
bahasa sendiri merupakan kejahatan, sebutannya genosida budaya lewat pelenyapan
bahasa. Misalnya kejadian ketika seorang anak merasa terisolasi dari orang lain
karena dia tak mampu mengenal budaya daerahnya melalui bahasa daerahnya. Mereka
tak lagi menggunakan bahasa daerahnya di lingkungan keluarganya. Mereka lebih
memilih bertutur kata dengan bahasa lain.
Penggunaan
bahasa gaib lebih modern ketimbang bahasa asalnya sendiri. Mirisnya, bahkan
suka berbahasa slang yang bermakna kasar. Tatarannya terkesan keren dan maju,
namun maknanya kian mengikis norma kesopanan anak bangsa. Kebiasaan mencakapkan
bahasa lain yang satir dan vulgar sudah menjadi hal lazim.
Seolah-olah
menjaga kelestarian ragam bahasa daerah hanya menjadi tugas para penutur tua
dari daerah sendiri. Tidak sedikit yang menyadari, bahasa daerah ialah kekayaan
yang diwariskan kepadanya dan kehilangan warisan budaya itu menjadi fenomena
tragis. Faktanya itu telah terjadi di Indonesia dengan hilangnya sebelas bahasa
daerah. Empat bahasa telah kritis dan dua bahasa lagi mengalami kemunduran.
Ini
semakin menarik, Landweer (2008) melakukan survei dan menelusuri asal-muasal
punahnya bahasa-bahasa daerah di dunia. Dalam artikelnya berjudul Indicator of Ethnolinguistic Vitality (ELV),
kenyataannya pengabaikan ini terjadi ketika ibu tak lagi bertutur bahasa ibu
kepada anaknya di lingkungannya sendiri. Kehilangan bahasa daerah tidak serta
akibat penutur jatinya semakin habis dimakan usia, melainkan ibu tak memulai bahasa
itu dari keluarganya.
Tak
dimungkiri, penggunaan bahasa Indonesia yang semakin merata kian menggeser
entitas bahasa daerah sebagai media berkomunikasi. Bahasa Indonesia sebagai
pengantar resmi di segala fokus bidang pendidikan, sementara bahasa daerah
hanya berakhir di muatan lokal. Apalagi adanya pencanangan menguasai bahasa
internasional menjadi penunjang kemajuan pendidikan. Ini menjadi penyebab kian hari
kian lama bahasa daerah semakin terhimpit.
Hilangnya
warisan daerah dengan lenyapnya bahasa daerah menjadi tantangan yang patut dibebankan
di dalam batin masing-masing. Bagaimana upaya keluarga, masyarakat hingga
pemerintah untuk menjaga, memelihara dan bahkan menghidupkan kembali bahasa
daerah yang telah mati. Kelestarian suatu budaya daerah merupakan ukuran
kekuatan dan vitalitas kelompok tersebut dalam menghadapi tantangan.
Tantangan-tantangan tersebut ditimbulkan dari lingkungan alam, kelompok sosial
akibat kemajuan zaman.
Sejak
seseorang dilahirkan dari rahim ibunya, sebenarnya dari situlah jalan lahirnya mewarisi
bahasa tersebut. Bahasa yang melekat dengan jiwanya merupakan bahasa ibunya. Seseorang
lahir di daerahnya mengemban tugas penting untuk menjaga bahasa ibunya,
notabene bahasa daerahnya. Tak mungkin bisa hidup di daerahnya tanpa ada bahasa
sebagai media penghubung. Maka, keberadaan bahasa daerah sangat krusial seharusnya
menjadi alat pemersatu.
Menjaga
ragam bahasa daerah memperlihatnya betapa kita tidak ingin kehilangan warisan
budaya kita. Mengemban bahasa daerah tidak memperlemah bahasa negara, yaitu
bahasa Indonesia. Justru, keberagaman bahasa melengkapi Indonesia sebagai
negara yang kuat yang diamunisi oleh kekayaan dan keutuhan budaya di setiap
daerahnya.
Bahasa
Indonesia mempersatukan bangsa, namun bahasa daerah menyatukan kearifan antar
suku dan komunitasnya. Keduanya sama-sama menjadi media untuk mengungkapkan
kedamaian dan kerukunan.. Bahasa nasional pun bahasa daerah juga menjadi media
untuk menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan.
Tatkala
lepas membuat seseorang mampu bersosial dengan orang lain, sehingga kita dapat
hidup berdampingan dengan suku yang sama maupun berbeda. Peradaban dan
teknologi memang bernilai positif. Akan tetapi, fenomena itu tidak membuat kita
sanggup menggeser kebanggaan kita dalam berbudaya. Masyarakat Indonesia harus optimis
serta percaya diri dengan kekuatan bahasa daerahnya.
(*)
Penulis bergiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
Terbit: 30/03/22
https://analisadaily.com/e-paper/2022-03-30/files/mobile/index.html#12
Komentar
Posting Komentar