OPINI: Krisis Nalar Anak Menyongsong Bonus Demografi
Oleh: Penny
Charity Lumbanraja
Indonesia
akan memanen bonus demografi pada tahun 2025 hingga 2035 mendatang. Diprediksi,
jumlah penduduk Indonesia usia produktif akan mencapai tiga kali lipat
dibanding yang tidak produktif. Ibarat pedang bermata dua. Satu sisi akan memberi
peluang, lain sisi bakal jadi ancaman. Akan tetapi, sejauh ini sudah sampai
dimana persiapan kita?
Pendidikan
anak-anak Indonesia saat kini tengah diuji dalam situasi darurat pandemi yang masih
merebak. Sudah setahun lebih anak-anak kita menjalani pendidikan tanpa tatap
muka di sekolah. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk menghindari penularan
virus Corona di klaster sekolah. Kian hari kian meresahkan, penularan virus
semakin sulit dikendalikan padahal berbagai kebijakan telah diterapkan.
Fenomena
bonus demografi berpotensi membawa pengaruh bagi kehidupan masyarakat
terkhususnya menghadapi persaingan industri kerja. Menghadapi hal ini, setiap
pelaku kerja tentunya wajib memiliki kemampuan yang bakal menjadi amunisinya
untuk bekerja. Salah satu amunisi untuk menghadapi kondisiini dengan adanya dukungan
kemampuan nalar yang tinggi.
Punya
nalar yang tinggi menjadi pertahanan yang kuat untuk berkembang pada kemajuan
era emas mendatang. Sayangnya, nalar anak Indonesia sangat rendah. Sementara
kemampuan bernalar akan terbentuk dengan minat literasi yang kian dilatih.
Literasi itu sendiri menguji kedalaman pemahaman seseorang terhadap subjek ilmu
pengetahuan. Akibatnya, minat literasi yang rendah membuat siswa –siswa di
Indonesia saat ini sangat lemah dalam kecakapannya untuk menalar, mengaplikasi,
menganalisis, dan mengevaluasi. Apalagi kondisi belajar daring saat ini sangat
rawan melemahkan peran aktif siswa saat belajar. Semangat belajar menurun dan
pada akhirnya belajar secara daring dilaksanakan seadanya saja.
Dalam
hasil survei Programme for International
Student Assessment(PISA) memberikan informasi, kemampuan anak-anak
Indonesia dalam bernalar berada pada posisi ke 62 dari 70 negara. Studi ini
dilakukan untuk menyetarai kebutuhan dasar bernalar pada anak yang berusia 7-14
tahun dengan anak 15 tahun ke atas. Melalui hasil ini dapat dilihat bahwa
negara Indonesia kalah jauh dibanding dengan negara-negara maju lainnya.
Terkhususnya negara tetangga kita sendiri, Singapura menduduki posisi pertama.
Hasil
penilaian tersebut dengan jelas memaknai bahwa sebenarnya pendidikan sekolah
dasar di negara Indonesia tidak memberikan hasil yang baik. Padahal
dibandingkan dengan negara-negara maju (OECD), Indonesia memiliki jam belajar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memberlakukan
1.095 jam pelajaran per tahun, Korea Selatan hanya 903 jam per tahun dan Jepang hanya 712 jam pelajaran per tahun. Hal
ini telah disampaikan oleh Kemendikbud pada tahun 2016 lalu.
Berarti
sampai saat ini, belum ada perhatian yang khusus dan penindakkan yang tepat
untuk mengentaskan kemiskinan nalar anak Indonesia. Sekolah menjadi fasilitas
belajar, tidak dengan serius memberi perhatian untuk meningkatkan kognitif
anak.Data Bank Dunia
menginterpretasikan kelas-kelas di Indonesia merupakan kategori kelas yang irit
bicara dibanding negara lain. Faktanya, belum banyaksekolah menerapkan
sistem pembelajaran abad 21 di kelasnya.
Guru terkendala untuk menerapkan
keterampilan pembelajaran abad kini akibat kemampuan bernalar siswa yang masih
rendah. Perlu diketahui keterampilan yang disebut itu di antaranya adalah kemampuan
untuk berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity),
kolaborasi (collaboration) dan komunikasi (communication)
atau biasa disebut 4C. Jika kemampuan bernalar mereka masih rendah, bagaimana
cara kita untuk memupuk anak-anak ini ] menjadi orang yang memiliki keahlian\
di masa depan. Bukan tak mungkin, merekalah yang kelak
akan menjadi calon pemimpin di negara ini. Jika kita tak menyadari dan
membiarkan kondisi ini terus terjadi, kita khawatir sekolah malah mencetak
anak-anak yang memiliki kemampuan nalar yang sangat rendah.
Indonesia juga
pernah merilis studinya. Survei ini diambil dari IFLS (Indonesia Family Life Survey) yang dilakukan pada 83persen populasi
di Indonesia di tahun 2000, 2007, dan 2014. Hasil survei menginformasikan bahwa
kemampuan siswa dalam memecahkan soal bernalar hanya meningkat sebesar 10,5persen
dalam 12 tahun. Tidak lebih 0,9persenper tahunnya. Sungguh
memprihatinkan.
Jika terus dibiarkandan kondisi jumlah
penduduk produktif meningkat drastis, nantinyaakan mengancam Indonesia pada
bencana baru. Kelak di era bonus demografi pada empat tahun mendatang, negara
kita akan dipimpin oleh generasi yang memiliki kapasitas nalar buruk. Pembiaran
ini akan membuat negara Indonesia terus tertinggal dibanding negara-negara maju
lainnya. Diperlukan 314 tahun agar negara Indonesia baru bisa menyaingi
kecanggihan anak-anak dari negara maju lainnya. Kita sungguh jauh tertinggal.
Peranan
pemerintah yang bersinergi dengan pihak sekolah dan orang tua adalah kunci
utama. Manajemen dari sekolah beserta pendidikan yang ditempah dari rumah harus
diperbaiki agar masalah ini dapat diatasi. Salah satunya dengan memicu daya
kognitif anak saat belajar.
Pentingnya
membudayakan anak untuk melatih kemampuan kecakapan dan nalarnya dengan bergelut
pada soal dengan tipe HOTS (High Order
Thinking Skill). Soal dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa disinyalir
secara signifikan dapat memacu daya nalar anak.
Sesuai
dengan perkembangan zaman di abad 21, kemampuan memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking) harus menjadi perubahan
yang diterapkan di sekolah. Dengan proporsi yang tepat,hal ini dapat menempah
kapasitas otak anak dalam bernalar lebih baik. Hal ini menjadi bekal bagi anak
untuk menghadapi pendidikan lanjutnya.
Buah yang
baik dihasilkan dari akarnya yang baik. Dengan buah dan akar yang baik, pohon
tersebut senantiasa berperan sebagai sistem yang berdampak positif bagi setiap
insan disekitarnya. Buah menggambarkan kemampuan nalar anak, sedangkan akar
menggambarkan ketetapan pelaksanaan peraturan. Berarti, dengan adanya prioritas
dari regulasi pemerintah untuk mencanangkan kemampuan nalar anak, hal ini
membawa dampak besar demi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Pemerintah
memiliki kekuasaan untuk menggiring perubahan pendidikan yang lebih baik.
Kemampuan anak merupakan aset jangka panjang yang harus diberdayakan. Perhatian
ini dapat diterapkan melalui sistem pendidikan di sekolah. Jika kita tidak
acuh, berarti kita sedang menaruh bom waktu di hadapan kita sendiri. Bom yang
dapat meledak dan membawa bencana jangka panjang. Suka tidak suka, mau tidak
mau,baik pemerintah, orang tua dan masyarakatturutserta mengambil peran di
dalamnya.
(*) Penulis merupakan alumnus program Magister USU dan bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (PERKAMEN)
Terbit: 21/05/2021
Komentar
Posting Komentar