OPINI: Manajemen Sampah Pada Mitigasi Pandemi
Penny Charity Lumbanraja
Hari Peduli Sampah Nasional yang jatuh
pada tanggal 21 Februari menjadi momentum yang tepat bagi masyarakat Indonesia
untuk merefleksikan diri. Apalagi mengingat badai pandemi yang disebabkan virus
Corona kian belum usai. Kondisi ini menjadi tantangan baru bagi masyarakat
untuk mengelola sampahnya masing-masing.
Dikatakan demikian, pandemi Covid-19
justru memicu produksi sampah di berbagai tempat. Lonjakan jumlah sampah
diperlihatkan dengan meningkatkannya produksi sampah medis dan non-medis
mencakup berbahan plastik yang tidak hanya bersumber dari instansi kesehatan
melainkan rumah tangga.
Kebiasaan masyarakat berubah drastis
apalagi sejak masa pandemi tengah berlangsung. Serangkaian rutinitas baru
apalagi bila berpengaruh buruk pada ketidakseimbangan produksi sampah hendaknya
tidak menjadi membudaya bagi pribadi kita masing-masing.
Era new normal yang tengah dijalani saat
ini baiknya menjadikan kita semakin bijaksana dalam mengelola sampah. Lonjakan
sampah medis dari budaya memakai masker sekali pakai, maraknya pemesanan
makanan secara daring yang tak terlepas dari plastik adalah salah satu
penyebab. Hal ini akan menimbulkan dampak darurat bagi kondisi lingkungan kita.
Apalagi persoalan sampah sudah menjadi masalah klasik yang tak kunjung
usai.
Persoalan ini berbicara tentang
kesadaran masyarakat yang masih memprihatinkan untuk memilah sampahnya
masing-masing. Meskipun banyak oknum yang terlibat mulai dari pemerintah bahkan
organisasi non-pemerintah yang mengedukasi pentingnya kepedulian kelola sampah,
belum tentu di antaranya mau mengambil sikap simpati pada lingkungan sekitar.
Sejumlah kebijakan telah dicanangkan sebagai upaya menekan volume sampah yang
terus-menerus meningkat.
Menerapkan kebiasaan membedakan sampah
organik dengan non-organik belum sepenuhnya dilaksanakan dengan total.
Peraturan bahkan larangan pun sudah diterapkan, namun tak sepenuhnya masyarakat
mau terlibat. Akibatnya, tidak semua sampah yang diangkut dari tiap tempat
dapat didaur ulang kembali. Apalagi masker yang sifatnya sekali pakai dan
terbuat dari polipropilena yang tidak bisa didaur ulang. Akhirnya, sisanya
berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Kalau sudah begini, timbul masalah baru
bagi negara. Sampah menggunung dimana-mana. Mungkin masih sedikit di antara
kita yang tahu, bahwa sampah dapat menjadi ancaman yang bisa menghilangkan
nyawa seseorang. Mengingat kembali peristiwa mengerikan pernah terjadi di
Indonesia akibat sampah.
Tragedi naas yang terjadi pada tanggal
21 Februari 2005 lalu hendaknya menjadi rekaman peristiwa yang patut menegur
kita, bahwa alam dapat memperlihatkan keberadaannya ketika masyarakat menutup
mata soal kelestariannya. Tragedi yang terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa
Barat merenggut 157 nyawa penduduk yang berada di sekitar daerah tersebut
akibat longsoran sampah yang terjadi di sekitarnya.
Tumpukan sampah yang menggunung akan
menjadi ancaman apalagi disertai curah hujan yang tinggi. Hal ini menyebabkan
produksi gas metana akan terkepung pada tumpukan sampah berjumlah besar.
Ledakan yang diakibatkan gas metana ini menggulung dua kampung yang berada di
daerah tersebut hingga keberadaannya hilang dari peta.
Insiden Leuwigajah hendaknya selalu
menjadi teguran keras bagi masyarakat saat ini bahwa betapa pentingnya
mengambil sikap saat menghasilkan sampahnya. Hendaknya mestilah tahu untuk
mengelola sampah tersebut. Janganlah sampai terjadi kasus Leuwigajah-leuwigajah
di tempat lain.
Perkembangan teknologi di era revolusi
industri menjadi solusi yang tepat untuk mendukung kegiatan masyarakat peduli
pada sampah. Tak hanya didukung teknologi mesin pendaur ulang sampah yang
canggih, sejumlah fitur yang tersedia di gawai pun dapat pula dimanfaatkan.
Karena keterbatasan, kemungkinan layanan jemput sampah ini belum bisa
diterapkan di sejumlah wilayah di Indonesia. Meskipun demikian, sampah-sampah
yang akan dijemput pun harus berupa sampah plastik kering yang telah dipilah
dengan baik. Jadi kembali lagi, persoalannya ada pada kesadaran masyarakat yang
masif soal kelola-mengelola sampah.
Polemik lingkungan akibat sampah tidak
hanya dimiliki negara-negara berkembang, hal ini juga menyita perhatian
berbagai negara maju. Belajar dari beberapa negara maju yang berhasil menerapkan
sistem yang mendetail saat mengelola sampah-sampah yang ada. Seperti Jerman,
negara ini dengan tingkat daur ulang sampah terbaik di dunia berdasarkan sumber
yang diperoleh dari World Economic Forum.
Persentase sampah yang berhasil didaur
ulang di Jerman sudah mencapai lebih dari lima puluh persen. Hanya dengan
menerapkan budaya sistem pemilahan sampah dengan ketat pada tiap-tiap penduduk
di sana. Yang berperan tidak hanya masyarakat saja, baik pihak pemerintah dan
swasta sekalipun turut bekerja sama. Hal ini tentunya akan memudahkan kinerja
teknologi saat mendaur ulang sampah-sampah yang ada.
Bahkan di berbagai negara maju lainnya,
pemerintah mengambil sikap yang tegas dengan membatasi konsumsi plastik hanya
untuk membungkus makanan yang sifatnya berupa cairan, termasuk ikan dan daging.
Sampah-sampah plastik tersebut bila diberdaya dengan baik dapat bermanfaat
kembali sebagai sumber energi listrik.
Belum lagi halnya soal perdagangan
sampah plastik antara negara yang satu dengan negara yang lain. Peristiwa ini
lazimnya terjadi di berbagai negara. Biasanya sampah tersebut dikirim dari
negara-negara kaya alias maju ke negara yang berkembang.
Kejadiannya, sering terjadi pengiriman
alias pembuangan sampah yang tidak dapat di daur ulang dan limbah beracun
diekspor ke negara-negara berkembang seperti di kawasan Asia Tenggara.
Untungnya, peran PBB baik menyikapi hal ini dengan menindak tegas soal
memperoleh izin terlebih dahulu dari negara importir sebelum sampah - sampah
dikirim ke negara tersebut. Negara-negara penerima memiliki hak untuk menolak
pengiriman sampah, bila sampah tersebut tidak dapat di daur ulang kembali.
Memang benar, betapa krusialnya soal pilah-memilah sampah.
Peliknya persoalan kelola sampah
menuntut perhatian setiap umat penghasil sampah. Siapa di antara kita yang
tidak menghasilkan sampah. Kesadaran untuk peduli pada lingkungan hendaknya
terus membudaya dalam aktivitas keseharian. Banyak sikap yang dapat dilakukan,
seperti membatasi penggunaan plastik seminimal mungkin.
Kemampuan memilah sampah dengan baik
merupakan suatu ukuran yang dapat menjadi kepuasan moral bagi diri kita.
Artinya, kita mengambil peran untuk menjaga kesehatan lingkungan dan planet
tempat berhuni saat ini.
Semakin bertambah jumlah penduduk secara
mengglobal diiringi dengan urgensi untuk membatasi produktivitas sampah di
kemudian hari. Ini tak hanya menjadi tugas penting aparat pemerintah, melainkan
kita bersama.
(*) Penulis merupakan CPNS di Dinas
Koperasi dan Perdagangan di Kisaran/bergiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka
Menulis)
Terbit: 21/02/21
Komentar
Posting Komentar