OPINI: Indonesia Suram Energi Listrik


Indonesia terancam krisis listrik. Terutama menyambut era bonus demografi tahun 2020-2030 mendatang. Menteri Perindustrian, Saleh Husin menggalakan pernyataannya bahwa Indonesia akan terjebak sebagai negara middle income trap, yaitu negara yang akan mengalami ketertinggalan.

 

Berdasarkan data yang diperoleh pada Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2016 silam, ada lima wilayah di Indonesia yang mengalami defisit cadangan energi listrik. Defisit cadangan terbesar berada di Kota Palu, yaitu 23,37 persen hingga di daerah Indonesia Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung mengalami kekurangan energi sebesar 6,70 persen. Masih pada periode yang sama, hanya ada enam wilayah di Indonesia yang memiliki status normal perihal cadangan energi, yaitu Jawa-Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Poso, Tentena, dan Kupang.

 

Kebutuhan listrik di Indonesia sangatlah besar dan amat krusial. Golongan pengguna terbesarnya adalah berasal dari industri dan rumah tangga. Sampai saat ini, meskipun cadangan energi di wilayah Jawa-Bali cenderung normal, namun tetap saja ancaman mengalami defisit energi listrik total terpampang nyata di hadapan kita. Hal ini dapat kita lihat pada proporsi penggunaan kebutuhan energi listrik dengan cadangan listrik yang ada.

 

Tahun 2015, total penggunaan konsumsi energi listrik mencapai 228 TWh. Jika dibandingkan dengan banyaknya penduduk Indonesia, nilai ini direpresentasikan rata-rata 910 kWh per penduduknya. Padahal, kebutuhan energi listrik yang berasal dari kapasitas yang terpasang di seluruh pembangkit listrik di Indonesia hanya mencapai 55.000 MW. Dari nilai tersebut, faktor dominan kapasitasnya masih berasal dari fosil (batubara, gas dan minyak bumi).

 

Fosil merupakan sumber energi yang tak dapat diperbaharui, sehingga kita tak mungkin seterusnya bergantung di dalamnya. Permasalahannya ialah, pemberdayaan sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia masih rendah disoroti.

 

Pembangkit listrik dari Energi Terbarukan (EBT) di Indonesia masih berada pada skala yang kecil sehingga dianggap kurang kompetitif. Letak kendalanya berada pada keterbatasan teknologi yang digunakan dan perbedaan karakteristi daerah geografis, infrastruktur yang tidak memadai dan banyak faktor lainnya. Banyaknya pertimbangan menggunakan EBT karena ketidaksesuaian antara proporsi biaya produksi dan harga jualnya.

Mengapa kita mencari solusi dengan EBT? Karena memang penerapannya di beberapa daerah terpencil yang kurang memeroleh cadangan energi listrik dapat terpenuhi dengan baik. Bahkan beberapa daerah sudah memanfaarkan energi tata surya atau penggunaan energi listrik tenaga matahari (photovoltaic solar cell). Hal ini dapat dilihat dari aksi nyata Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berperan dalam pengembangan listrik di pedesaan dengan menggunakan EBT sejak Tahun 2002.

 

ADB menggalang dana pinjaman berkisar lebih dari 150 juta dollar AS untuk menyediakan suatu sistem solar home dan pembangkit listrik mikro hidro (MH) pada 10.000 keluarga dengan berpenghasilan rendah di pulau-pulau terluar di Indonesia. Tidak hanya ADB, program ini juga turut didukung oleh negara mancanegara lainnya seperti Belanda, Denmark, Australia, Inggris dan Kanada yang mendukung gerakan Green PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Program EBT yang sedang dipersiapkan di Indonesia ini ternyata telah lama menarik perhatian dari negara-negara lain, yaitu sejak Tahun 1990-an.

 

Mengingat pemerintah kita memang sedang mempersiapkan dua targetnya untuk memenuhi energi listrik dari EBT. Pertama, target rasio elektrifikasi pada Tahun 2019, yaitu sebesar 99 persen dan menargetkan perolehan energi listrik yang bersumber dari EBT 25 persen atau 8.800 MW untuk program listrik 35.000 MW yang dicanangkan. Angka ini diiming-imingkan secara signifikan akan cukup untuk memenuhi ancaman energi listrik yang akan terjadi di Tahun 2019 ini. Tentunya, besar pengharapan kita dari EBT ini.

 

Jenis EBT ini diperhitungkan menjadi potensi besar yang dapat mengasupi kebutuhan cadangan energi listrik di Indonesia. Tenaga air diproyeksikan menyumbang kapasitas energi listrik sebesar 94.476 MW, panas bumi sebesar 29.544 MW hingga Bioenergi berpotensi mencapai 32.000 MW.

 

Meskipun angka-angka tersebut sangatlah besar, tidak semua EBT tersebut dapat didayagunakan sebagai sumber energi pembangkit. Porsi pemanfaat air hanya 5,3 persen dan panas bumi hanya 4,8 persen dan Bioenergi sebesar 5,4 persen dari angka yang disebutkan di atas. Hal ini disebabkan negara kita ini masih tergolong sulit menempap ketergantungan penggunaan energi listrik dari fosil.

 

Penggunaan EBT di Indonesia masih sebuah ironi. Sampai saat ini, kita masih harus mengejar kekurangan cadangan energi listrik untuk memenuhi setiap kebutuhan masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Presiden kita menargetkan pemanfaatkan penggunaaan EBT harus sampai menuju angka 23 persen per tahunnya hingga pada tahun 2025. Hal itu dicanangkan sebagai upaya menyongsong era emas bonus demografi hingga tahun 2035 mendatang.

 

Porsi tersebut harus dicapai secara signifikan setiap tahunnya, agar keberlangsungan kebutuhan masyarakat di Indonesia diharapkan tidak terhambat. Suatu tantangan yang begitu besar, bukan? Menteri Perindustrian memperhitungkan, Indonesia harus mengejar sebesar 10 gigawatt energi listrik per tahunnya. Angka sebesar itu tentu membutuhkan 40 juta ton batu bara agar tercapai. Rasionya adalah 1:4. Jika membutuhkan uranium hanya berkisar 250 ton. Selain mengeruk angka yang begitu besar, penggunaan batu bara membawa dampak negatif pada pengrusakan lingkungan, pencemaran udara serta air tanah.

 

Mengingat setiap tahunnya, tingginya permintaan pasokan energi listrik sekitar 7 persen setiap tahun tidak seimbang dengan penambahan kapasitas daya yang memadai melalui pembangunan pembangkit listrik. Hal itulah yang menjelaskan keadaan negara kita yang defisit energi. Itulah sebabnya, sering terjadi pemadaman listrik secara bergilir yang salah satunya disebabkan oleh gangguan operasional pada jaringan listrik.

 

Hal lain yang dapat kita lakukan untuk mengatasi keadaan ini adalah pentingnya menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat Indonesia untuk menghemat energi listrik. Dengan tindakan ini membuat kita terlibat untuk menyelamatkan bumi. Selain itu, sebagai konsumen yang bijak, mengambil sikap menggunakan perangkat listrik yang hemat energi menjadi salah satu solusi. Selanjutnya, adanya pendidikan yang diberikan ke setiap daerah untuk secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Salah satunya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hydro (PLTMH).

 

PLMTH merupakan suatu pembangkit listrik yang memanfaatkan potensi tenaga air sebagai tenaga penggerak. Penggeraknya ialah air terjun, saluran irigasi, sungai dengan memanfaatkan tinggi terjunan dan besarnya debit air. Penggunaan PLMTH di daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh aliran listrik PLN sangatlah baik dan mudah untuk dioperasikan. Sistem PLMTH dapat memanfaatkan ketinggian air berkisar 2,5 meter yang dapat menghasilkan energi listrik 400MW.

 

Akhirnya, pemerintah mulai melakukan Pencanangan Pembangunan Fasilitas Pengolahan Sampah di Dalam Kota (Intermediate Treatment Facility). Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) telah mensahkan Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, tertulis pada Perpres 35/2018.

 

Tentunya dengan adanya pengolahan sampah tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pemanfaaatan sampah yang bisa menjadi sumber daya energi listrik. Menyusul akan terciptanya kualitas kehidupan masyarakat yang lebih sehat, mengurangi tumpukan volume sampah secara signifikan, serta memberikan keindahan dan kebersihan lingkungan.

 

Sebagaimana yang disebut dalam Perpres tersebut, proses percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah (PLTSa) tersebut harus ditidak secara serius oleh seluruh pemerintah daerah. Terkhusus bagi daerah-daerah penghasil sampah terbesar di Indonesia. Begitu juga dengan pemerintah daerah kota/kabupaten harus saling bersinergis dengan baik agar program pengelolaan sampah dapat berjalan dengan baik karena merupakan suatu aset yang berharga.

 

Namun, fasilitas ITF ini belum sepenuhnya diterapkan di berbagai daerah penghasil sampah terbesar di Indonesia. Sampah-sampah tersebut nantinya akan diolah dengan proses insinerasi dan pemanfaatan sampah menjadi tenaga energi listrik. Diharapkan tentunya dengan berbagai kajian yang mendalam, teknologi ITF dapat ramah lingkungan dan mampu meminimalisir sampah-sampah secara efektif. Diprediksi, ITF dapat menciptakan efisiensi 2200 ton sampah mengahasilkan 35 MW energi listrik.

 

Beberapa negara mancanegara sudah banyak berhasil menerapkan program ini. Amerika Serikat, Denmark sudah menggalakan sistem ini dan berhasil memanfaatkan lebih dari 80 persen volume sampah untuk menghasilkan suatu energi.

 

Masalah sampah di Indonesia sudah menjadi tantangan bagi kita sejak bertahun-tahun. Dan hal ini tidak akan kunjung teratasi jika masyarakatnya menutup mata. Pentingnya perhatian pemerintah yang bekerja sama dengan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, sektor swasta dan pihak investor. Jika program pengelolaan sampah ini direalisasikan secara serius, tentunya akan menjadi aset yang berharga untuk seluruh masyarakat Indonesia, terutama menjadi satu langkah persiapan kita menyambut masa bonus demografi tujuh tahun mendatang.

 

Indonesia tidak mengalami kekurangan aset-aset berharga untuk menjalankan program ini. Persoalannya adalah bertindak secara sungguh-sungguh. Siapkah kita?


(*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Bergiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)


Telah terbit di Harian Analisa Tanggal 2 Maret 2019
http://harian.analisadaily.com/mobile/opini/news/indonesia-suram-energi-listrik/701743/2019/03/02


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM