OPINI: Laut Indonesia Darurat Sampah: Kita Harus Bagaimana?
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh sebuah sampah
plastik mie instant yang ditemukan di Pantai Sendang Biru di selatan Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Ironisnya, sampah tersebut telah berusia 19 tahun yang
ditemukan oleh seorang mahasiswi, Fianisa Tiara Pradani saat ia sedang
melakukan penelitian tentang Ilmu Kelautan di pantai tersebut. Foto sampah
bertuliskan “Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku” tersebut diunggahnya melalui akun
media sosial twitter-nya dan berhasil
menyorot perhatian Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi
Pudjiastuti.
Bulan November 2018 lalu, Susi Pudjiastuti akan
terus mendorong kegiatan pengurangan pemakaian plastik. Hal ini dilakukannya
demi menyelamatkan laut Indonesia yang sudah dicemari sampah plastik berbahaya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di
dunia yang dibuang ke laut. Sampah plastik yang sangat berbahaya. BPS mencatat,
kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milyar lembar per tahun
atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia
dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di laut akibat air laut yang
tercemar oleh sampah-sampah plastik. Budaya buruk masyarakat yang membuang sampah
ke laut ini tidak hanya mengancam manusia melainkan hewan-hewan laut.
Sampah plastik tersebut bila tidak dikumpulkan
dengan benar akan terbawa ke sungai bahkan sampai ke laut dan pada akhirnya
menumpuk. Karena massanya yang ringan, sampah plastik akan berada di permukaan
laut sehingga dapat menutupi permukaan laut.Sampah yang terbuang ke laut dapat
menyebabkan kerusakan lingkunganekosistem laut dan membahayakan populasi yang
ada di laut.
Beberapa mahasiswa di universitas melakukan
penelitian survei dan mengungkapkan bahwa sekitar 28 persen ikan yang
dikonsumsi di masyarakat sudah tercemar
oleh sampah plastik. Ikan-ikan tersebut tidak sengaja memakan sampah plastik,
karena mengganggap plastik tersebut merupakan makanan mereka. Hal ini tidak
menutup kemungkinan dapat mengancam biota laut lainnya, sampah plastik juga
dapat merusak terumbu karang yang sudah terancam punah.
Kelautan dan Perikanan dalam Angka, Kementerian
Kelautan dan Perikanan di tahun 2016, luas terumbu karang total pada tahun 2016
sekitar 2,5 juta Ha. Sekitar 37 persen dengan kondisi cukup baik dan kurang
baik sekitar 30 persen. Penutupan permukaan laut oleh sampah plastik dapat
membahayakan biota laut, yaitu terumbu karang.
Terumbu karang akan kesulitan memperoleh cahaya matahari agar dapat
bertahan hidup. Padahal terumbu karang merupakan ujung tombak perekonomian dan
membawa manfaat yang sangat besar bagi jutaan penduduk yang hidup di dekat
pesisir laut.
Baru-baru ini Indonesia digegerkan oleh seekor paus
sperma yang mati dan membusuk di Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November
lalu. Sekitar 5,9 kg sampah plastik ditemukan di dalam tubuh paus tersebut.
Lokasi kematian mamalia laut yang berukuran 9,5 meter tersebut berada di
kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi yang seharusnya
menjadi wilayah aman bagi biota laut.
Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang
telah 10 tahun mengikuti isu sampah memaparkan bahwa satu orang di Indonesia
rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Berarti permasalahannya
kita memproduksi minimal satu kantong plastik setiap harinya. Padahal di alam,
kantong plastik sangat sulit terurai bahkan ada plastik yang tak terurai dan
itu menjadi ancaman kehidupan, kesehatan dan ekosistem.
Ia juga menambahkan, berdasarkan data yang diperoleh
dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik
(BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/ tahun dimana sebanyak
3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. “Sampah plastik
yang masuk ke laut dapat terbelah menjadi partikel-partikel kecil yang disebut microplastics dengan ukuran 0,3 – 5
milimeter. Microplastics ini sangat
mudah dikonsumsi oleh hewan-hewan laut," lanjut Susi.
Mengapa bisa terbuang ke laut? Produksi sampah
plastik di Indonesia dinilai sangat banyak. Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI), Dini Trisyanti dalam riset
terbarunya yang menganalisis soal Analisis Arus Limbah Indonesia pada 2017
lalu, ada sekitar 1,3 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola.
Selain itu, sampah plastik tidak mudah terurai. Sampah plastik baru dapat terurai puluhan
hingga ratusan juta tahun, bahkan ada beberapa plastik yang tidak akan pernah
terurai. Jika tidak dikelola di TPA atau didaur ulang, tentu akan merusak
ekosistem. Sampah plastik yang tidak dikelola ini biasanya tertimbun di tanah,
atau ikut mengalir ke lautan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya
sampah plastik yang tidak dikelola. Pertama, terkait sistem yang tidak memadai
untuk proses pengumpulan sampah. Proses ini hanya dilakukan para pemulung di
jalanan, atau petugas kebersihan yang mengangkat sampah-sampah dari tiap rumah
tangga dengan menggunakan truk. Pengumpulan sampah dengan cara ini belum bisa
menjangkau semua sampah. Ada 400 kabupaten di Indonesia yang tidak semuanya
dilengkapi dengan truk sampah.
Kedua, budaya masyarakat yang memprihatinkan,
membuang sampah sembarangan secara langsung ke laut atau sungai.Kebiasaan masyarakat
Indonesia itu sendirilah yang semakin memperparah alam. Sampah tak terurai ini
tidak masuk ke dalam proses pengumpulan yang dilakukan para pemulung maupun petugas
kebersihan, dan akhirnya mengotori ekosistem alam.
Ketiga, keterbatasan anggaran pemerintah. Disisi
lain, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Indonesia mempunyai banyak
hambatan untuk infrastruktur pelayanan sampah. Masyarakat seringkali membuang
sampah sembarangan karena tidak adanya tempat pengumpulan sampah atau TPA khusus
di sekitar tempat tinggalnya.Inilah yang menimbulkan perilakumasyarakat yang bingung
untuk membuang sampahnya.
Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam
upaya peningkatan pelayanan sampah di beberapa kabupaten yang tidak di
fasilitasi infrastruktur pelayanan sampah.
Solusi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk
Indonesia, berdasarkan proyeksi penduduk, akan meningkat menjadi 271,07 juta
jiwa pada 2020 dari 238,52 juta jiwa pada 2010. Peningkatan yang signifikan ini
sebesar 14 persen. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu akan berpengaruh pada
lingkungan, salah satunya penyebabnya adalah sampah.
Semakin bertambah jumlah penduduk, maka semakin
banyak pula sampah yang dihasilkan. Semakin banyak sampah yang dihasilkan,
berarti semakin banyak pula anggaran pemerintah yang dibutuhkan untuk mengatasi
permasalahan sampah masyarakatnya. Lalu apa tindakannya?
Pertama, sampah dapat dicampurkan dengan aspal untuk
pembangunan infrastruktur jalan. Rasionya adalah 1:9. Aspal campuran yang
dimaksud terdiri dari 10 persen sampah plastik dan 90 persen aspal murni. Biaya
produksinya menjadi lebih hemat hingga 8 persendengan tanpa mengurangi kualitas
aspal itu sendiri. Cara ini telah diadaptasi dari India dan telah diujicobakan
di Bali.
Kedua, pemerintah mulai
melakukan Pencanangan Pembangunan Fasilitas Pengolahan Sampah di Dalam Kota yaitu
ITF (Intermediate Treatment Facility).
Dikutip dari sebuah opini dalam harian Analisa. Presiden RI, Joko Widodo
(Jokowi) telah mensahkan Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah
Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Hal ini tertulis
pada Perpres 35/2018.
Proses
percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah (PLTSa) tersebut harus ditidak
secara serius oleh seluruh pemerintah daerah. Terkhusus bagi daerah-daerah
penghasil sampah terbesar di Indonesia. Cara ini sudah diadaptasi oleh negara
Amerika Serikat dan Denmark. Penggalakan sistem ini berhasil memanfaatkan lebih
dari 80 persen volume sampah untuk menghasilkan suatu energi.
Pemanfaatan sampah juga sangat bermanfaatuntuk keberlangsungan
listrik. Jika dilakukan kajian yang lebih
mendalam, teknologi ITF dapat ramah lingkungan dan mampu meminimalisir
sampah-sampah secara efektif. Diprediksi, ITF dapat menciptakan efisiensi 2200
ton sampah menghasilkan 35 MW energi listrik. Selain itu, ada pula cara
pengolahan sampah menjadi uap panas, disebut thermal technology dan sudah
diterapkan di beberapa negara.
Secara umum, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak
175.000 ton per hari, dengan masing-masing orang menyumbangkan 0,7 kilogram
sampah.Diperkirakan total sampah Indonesia di tahun 2019 akan meningkat lagi
hingga mencapai 68 juta ton.
Seiring akan bertambahnya jumlah penduduk terutama
di masa emas demografi, peningkatan sampah ini akan terus terjadi. Namun,
asalkan seluruh masyarakat sadar dan mau bersinergis dengan baik untuk
menanamkan budaya peduli pengurangan sampah, aksi nyata ini pasti akan berbuah
manis. Jangan biarkan kepedulian itu terbuang begitu saja tanpa aksi yang
nyata, sama seperti sampah yang terbuang secara sembarangan. Mari kita
selamatkan bumi kita bersama.
(*) Penulis
bergiat di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
Terbit: 29/07/2019
Komentar
Posting Komentar