OPINI: Media Sosial dan Reputasi Diri

 


Penny Charity Lumbanraja

 

“Media sosial bukanlah tempat yang aman.” -Tarana Burke. Mengenal seorang perempuan asal Afrika Amerika ini berhasil memberi pengaruh di dunia atas perhatiannya terhadap perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual. Tarana Burke merupakan aktivis sosial. Dia mendirikan sebuah organisasi nirlaba untuk memberikan dukungan terhadap perempuan korban pelecehan. Ia memprakarsai kampanye peduli perempuan yang pernah viral  pada era 90-an dan mendapatkan penghargaan dunia Time Person of the Year pada tahun 2017.

 

Tak jarang terdengar, kasus penyimpangan kerap terjadi akibat ketidakwaspadaan dalam menggunakan media sosial. Media sosial dapat menjadi ancaman bila penggunanya tidak teredukasi dalam mengendalikan diri. Bebas-sebebasnya mengekspresikan diri, serta beradu opini terkait kebijakan publik atau politik yang berujung pada perpecahan dan memicu timbulnya kasus-kasus kontroversial lainnya. 

 

Media sosial memang semakin diminati sebagai ranah untuk berinteraksi dengan orang lain secara virtual. Dengan bermedia sosial, senantiasa mempermudah menggali informasi, berkomunikasi tanpa mengenal batas jarak dengan orang lain. Media sosial memfasilitasi penggunanya secara efektif dan efisien untuk melakukan aktivitas pekerjaan, pembelajaran dan segudang manfaat lainnya.

 

Jaringan ini memudahkan orang-orang untuk mengeksplor dirinya. Bahkan digunakan pula sebagai media untuk memasarkan diri tentunya kita berharap untuk hal-hal yang positif. Media sosial efeknya meningkatkan nilai jual seseorang bila digunakan dengan baik. Namun, sayangnya tak semua orang dengan bijaksana memanfaatkan jaringan ini. Berbagai fitur yang bermunculan sebagian orang tak pergunakan untuk memberikan dukungan moral yang baik.

 

Faktanya, selama masa pandemi Covid-19, komunitas online semakin bermunculan. Membludaknya pertambahan pengguna akun di media sosial seiring dengan perebakan virus Corona di berbagai  negara. Survei Hootsuite tahun 2021 mendata bahwa ada peningkatan akun aktif media sosial sekitar 13 persen selama 12 bulan terakhir terhitung sejak Februari 2020. Pengguna internet di dunia telah mencapai 4,66 miliar jiwa. Dari jumlah tersebut, sebesar 4,22 miliar merupakan pengguna media sosial dan rata-rata menghabiskan waktunya berselancar kurang lebih 3 jam per harinya. Artinya dalam seminggu, seseorang sanggup menghabiskan waktunya untuk bermedia sosial seharian tanpa melakukan aktivitas lainnya.

 

Berbagai studi dan riset data dilakukan untuk menghimpun informasi terkait peningkatan pengguna aktif di media sosial. Apalagi mengingat pandemi yang belum berakhir, angka ini diprediksi akan terus bertambah. Penggunanya dari berbagai kalangan, baik pekerja, pelajar, orang tua pun turut meramaikan. Menggunakan media sosial untuk kepentingan positif tentu dapat dijadikan pembelajaran. Sayangnya, tidak semua memanfaatkan hal demikian.

 

Tak sedikit di antaranya yang mengumbar aktivitas maupun kegiatan yang dianggap tidak wajar karena dinilai terlalu terbuka atau mengumbar kehidupan privasinya. Sementara hal tersebut hanya berlalu begitu saja dan dipertontonkan secara bebas oleh pengguna lain. Banyak pula yang memaksakan dirinya untuk mengadopsi aktivitas orang lain. Padahal, dengan cara itu terkesan melebih-lebihkan dan tidak sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri. Bukannya berusaha menanamkan persepsi yang baik, hal ini cenderung menimbulkan penilaian pengguna yang lain.

 

Mengendalikan diri dalam menggunakan sosial media merupakan suatu keniscayaan. Apalagi bagi public figure atau seseorang yang dianggap menjadi sorotan masyarakat, penting untuk memperhatikan hal ini. Presensi seseorang dalam mengisi akunnya bisa memicu perhatian pengguna yang lain. Adanya yang sifatnya menginspirasi dan ada pula yang dapat menyesatkan. Menonton dan mempertontonkan aktivitas yang tidak layak di dunia maya dapat menimbulkan penyakit kejiwaan yang bisa mempengaruhi dirinya sendiri dan orang lain.

 

Di era milenial saat ini, semakin gencar bermunculan konten-konten yang tidak baik. Jangan sampai perilaku kita cenderung tertarik dengan konten-konten tidak layak dan tidak mengandung informasi berfaedah. Media sosial memang bisa dijadikan sebagai media penghiburan, pelepas penat dan mengurangi stress yang berlebih. Akan tetapi, harus bersikap tegas dalam memilih.

 

Media sosial merupakan media yang paling ampuh untuk meningkatkan/menurunkan reputasi seseorang. Meningkatkan reputasi diri tentu berbeda jauh pengertiannya dengan pencitraan. Memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan reputasi diri berarti memberikan pemahaman atau pandangan hidup yang ditanamkan di dalam kehidupan pribadi. Dan tentunya, sesuai dengan nilai serta kemampuan yang dimiliki. Orientasi melakukan pembaharuan reputasi diri akan berdampak pada penilaian kualitas diri dan nilai jual orang tersebut.

 

Aplikasi terlihat jelas pada saat merekrut calon pekerja, berbagai korporasi dapat melirik dan menilai akun media sosial yang digunakan si pelamar. Mesin pencari dapat membantu  prosesnya, sehingga jejak seseorang selama bermedia sosial dapat terekam. Pihak organisasi yang melihat tentunya akan mengukur sejauh mana kemampuan si pelamar yang dibutuhkan. Maka, konten-konten yang sifatnya tidak layak harus dihindari. Sesadar mungkin untuk tidak turut campur pada isu-isu yang sifatnya memecah kesatuan, memprovokasi keadaan dari ketidakakuratan infornasi.

 

Optimalisasi penggunaan media sosial hanya bisa muncul dari kesadaran setiap penggunanya. Betapa besar dampak negatif yang dimunculkan, sehingga pemerintah mengatur tegas persoalan bijaksana menggunakan media sosial. Salah satu alasan lahirnya UUD ITE menjadi dasar penting yang patut diketahui para pengguna untuk menghindari aktivitas yang mengandung informasi radikal (SARA), ujaran kebencian, informasi palsu/hoaks, pornografi, pencemaran nama baik, penipuan dan judi online.

 

Kehadiran media sosial semestinya menjadi pendukung bagi penggunanya untuk dapat bersaing dan mengikuti kemajuan dunia. Orang dengan bebas bisa mempelajari dan mengetahui perkembangan zaman serta mengadopsinya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Jadi, tak ada lagi terdengar pepatah “bagai katak di bawah tempurung.” Orang yang ingin maju tentu harus mampu mengedukasi dan mengendalikan dirinya dalam bermedia sosial. Jadi, bermedia sosial bukan hanya sekedar ajang untuk mencari perhatian.

 

(*) Penulis bergiat pada komunitas menulis PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)

 

 Terbit: 23/06/2021

https://medanbisnisdaily.com/m/news/online/read/2021/06/23/137794/media_sosial_dan_reputasi_diri/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjadwalan Proyek dengan Jaringan PERT/CPM