OPINI: Merajut Harapan Nyata Emansipasi Perempuan
Penny
Charity Lumbanraja
“Tahukah engkau semboyanku? “Aku mau!” Dua patah
kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi
gunung keberatan dan kesusahan. Kata “aku tiada dapat!” melenyapkan rasa
berani. Kalimat “aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung.”
”Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada
mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi
membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.” (Kartini – Habis Gelap
Terbitlah Terang)
Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21
April menjadi momentum yang menegurkan kita soal kesetaraan gender. Perempuan
bernama lengkap Raden Ajeng Kartini ini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional usai Presiden Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang
dirayakan pada tanggal 2 Mei 1964.
Kartini merupakan putri dari Bupati Jepara Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A.
Ngasirah. Ia asli dari keluarga asal Jawa. Meskipun ia berasal dari tataran
keturunan kelas bangsawan, Kartini tak pernah menutup mata soal memperjuang
status sosial kaum perempuan.
Kartini menggencarkan aksinya melalui
tulisan-tulisan yang dia pelajari secara mandiri. Di dalam tulisan tersebut ia
menguraikan pemikiran soal kesenjangan hak kaum perempuan pada masa itu.
Perkawinan secara paksa, paham feodalisme yang bertentangan, kebebasan
memoligami para perempuan hingga pentingnya bagi perempuan untuk memperoleh hak
pendidikannya.
Dia menulis dengan menggunakan Bahasa Belanda
sehingga berhasil menarik dukungan dari teman-temannya yang berasal dari negara
tersebut. Kemampuan literasinya patut disanjung. Kartini bergelut mengonsumsi
bacaan-bacaan berpengetahuan yang berhasil menginspirasinya. Melalui tulisan
tersebut, ia tertarik dengan cara berpikir perempuan asal Eropa sehingga
timbullah tekadnya untuk memajukan pola pikir perempuan-perempuan Indonesia. Kartini
berjuang untuk membebaskan para perempuan dari belenggu budaya yang meneror
kehidupan mereka pada masa itu.
Semangatnya teramat menggebu-gebu ia lakukan
semuanya demi memajukan kesejajaran status sosial kaum wanita. Kartini
menegaskan soal pengentasan hak untuk memperoleh pendidikan bagi kaum
perempuan. Pendidikan bagi kaum perempuan merupakan pelecut utama untuk
mencapai kesetaraan gender. Itulah hasil yang kita lihat hingga kini. Perempuan
tak lagi hanya mendarat di dapur, bahkan berpotensi memiliki kharisma menjadi
seorang pemimpin.
Emansipasi perempuan itu sendiri memiliki pengertian
yang teramat berurat akar. Artinya
sangat penting soal mengaplikasikannya dalam kehidupan hingga saat ini. Hak
perempuan memeroleh pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan persamaan
hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat kita perhatikan
bersama. Tak dapat dimungkiri, penerapan emansipasi wanita belum adil dirasakan
secara merata. Hal ini tidak serta-merta
hanya dimaknai dengan keterbatasan wanita untuk memeroleh kesempatan menguasai
beragam bidang keahlian.
Dalam kehidupan sekarang ini, persoalan
kemitrasejajaran antara laki-laki dengan perempuan sering menuai pro-kontra.
Banyak kasus sosial yang sering menjadikan perempuan sebagai sorotan utama.
Beberapa yang menarik perhatian
masyarakat yaitu eksploitasi tenaga perempuan yang menyenggol kodrat wanita
semestinya. Perempuan seolah-olah menggeser posisi utama laki-laki yang kodrat
utamanya sebagai pencari nafkah. Lazimnya saat ini, adanya tuntutan yang
menyudutkan perempuan untuk tetap memberikan penghasilan memadai dan tetap
tidak melupakan tanggung-jawabnya sebagai pengurus rumah tangga. Belum lagi
masih sering kita mendengar nasib perempuan yang menerima tindakan kekerasan.
Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan
menanggungjawabi hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Dan bagi
perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah masyarakat,
mereka juga harus mengerjakan pekerjaan domestik lainnya. Beban ganda yang
dialami itu, tidak menutup kemungkinan menurunkan produktivitas fisik dan
psikis para perempuan.
Menyikapi soal kekerasan, hal ini beragam wujudnya.
Ada kekerasan secara fisik (pemukulan), non fisik (pelecehan seksual) bahkan
verbal (berupa perkataan kasar, ancaman maupun paksaan). Sementara perempuan memiliki
keterbatasan untuk memperoleh perlindungan terhadap dirinya sendiri bila berada
pada kondisi yang mengancam posisinya. Hal ini tak hanya berpotensi terjadi di
luar melainkan di dalam lingkungannya.
Data dari Komnas HAM menunjukkan bahwa jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020 mengalami peningkatan
dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Meningkatnya kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak ini dapat menjadi narasi yang menguatkan disahkannya
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Melalui peringatan Hari Perempuan Internasional 8
Maret lalu, Komnas Perempuan juga mengeluarkan Catatan
Tahunan (CATAHU).
Dalam catatan itu menyoroti tingginya kekerasan terhadap perempuan, terutama di
ranah domestik. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi sorotan utama
yang tak kunjung selesai. Apalagi adanya perebakan pandemi yang disebabkan
virus corona. Kondisi ini membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
salah satunya pembatasan sosial. Akibatnya sebagian besar orang berada di dalam
rumah. Hal ini dapat memicu praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan.
Syukurnya,
temuan dari CATAHU Komnas Perempuan
menunjukkan adanya penurunan yang signifikan kasus kekerasan pada perempuan di tahun
2021. Dalam catatan tersebut ditegaskan bahwa persoalan pencatatan dan
pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) menjadi tugas bersama dan
prioritas perhatian pemerintah.
Perempuan sebagai makhluk dengan kerentanan berlapis
berhadapan dengan banyak peran yang menuntut besar soal tanggung jawabnya.
Keberadaannya tidak hanya di lingkungan keluarga, melainkan di masyarakat
hingga persoalan karir. Bukan beban yang ringan, mereka dituntut untuk
menerapkan balancing act yang baik,
sehingga tidak satupun tanggung jawabnya terabaikan.
Dengan serangkaian tanggung jawab yang besar, sepantasnya
mereka menerima hak perlindungannya. Sebab bila wanita Indonesia didukung untuk
berpotensi memiliki prestasi dan kemampuan yang tinggi, mereka
senantiasaberperan aktif. Hal ini menjadi wujud sumbangsih positif para
perempuan untuk memajukan masyarakat dan negara Indonesia. Perempuan berpotensi
sebagai tiang pembentuk generasi bangsa yang maju serta berkontribusi untuk
pemberdayaan pembangunan Indonesia. Oleh sebab itu, betapa hal yang krusian
soal perlindungan bagi para perempuan yang harus dijunjung tinggi secara
konsisten, sistematik dan nyata.
Bentuk perlindungan terhadap perempuan bermacam-macam.
Perlindungan hak perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ketenagakerjaan, serta perlindungan dalam
Situasi Darurat dan Kondisi Khusus (SDKK). Adanya koordinasi peran dan
sinergitas antara para pemangku kepentingan dapat meningkatkan dan mewujudkan
tercapainya perlindungan para perempuan. Apalagi mengingat kondisi sekarang yang semakin
membahayakan tingkat kriminalitasnya.
Beragam pengalaman tindak lanjut yang pernah dilakukan
dapat menjadi evaluasi dan replikasi di kemudian hari untuk mencapai wujud
perlindungan perempuan yang lebih merata. Sehingga tidak ada lagi
perasaan-perasaan berada dalam kondisi yang tidak aman serta membahayakan. Pada
Hari Kartini ini menjadi momen yang tepat untuk merenungkan sudah sejauh mana
tindakan kita bersama mencapai keadilan bagi para perempuan masa kini.
(*)
Penulis bergiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
https://analisadaily.com/e-paper/2021-04-21/files/assets/basic-html/index.html#12
Komentar
Posting Komentar