OPINI: Pajak Persoalan Kita Bersama
Penerimaan negara Indonesia dari pajak
mengalami penyusutan semenjak pandemi Covid-19. Kejadian ini terjadi di
Indonesia sepanjang Tahun 2020. Tak dapat dipungkiri, pajak berperan utama
sebagai tulang punggung keuangan negara. Melemahnya pendapatan dari pajak
akan mempengaruhi keberlangsungan perekonomian negara.
Sementara penanganan pandemi membutuhkan
pengeluaran yang sangat besar, penerimaan negara akan pajak hanya berkisar
85,3% dari target yang telah ditetapkan. Tak ada yang menduga hal ini akan
terjadi di Indonesia, defisit anggaran melebar hingga hampir empat kali lipat
dari postur APBN di awal tahun 2020. Tak ada juga satupun umat yang mengetahui
berapa lama lagi penyebaran virus Corona ini berhenti di Indonesia.
Belum lagi ancaman yang pernah
menghantui bahwa akan terjadi resesi di Indonesia. Banyaknya perusahaan
memberhentikan pekerjanya, ganguan kestabilan berinvestasi serta minat konsumsi
yang menurun. Pengaruh pandemi ini benar menimbulkan kesenjangan pada kehidupan
sosial masyarakat, kebudayaan, perekonomian dan kesehatan masyarakat. Tentunya
serangkaian permasalahan ini menjadi acuan bagi pemerintah saat
menentukan jenis dan besaran instrumen pajak di Indonesia.
Meskipun lebih besar pasak daripada
tiang, pemerintah tetap berupaya untuk menggenjotkan kembali penerimaan pajak
dengan meningkatkan daya konsumsi serta memberikan relaksasi pajak
besar-besaran. Relaksasi berarti memberikan keringanan, kelonggaran, atau
kompensasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk membuat suatu sistem dapat
pulih kembali. Adanya kebijakan ini diharapkan menstimulisasi pendapatan fiskal
bagi negara. Melakukan pembebasan pajak-pajak penghasilan diharapkan akan
meningkatkan daya beli masyarakat.
Mustahil bagi suatu negara dapat
berperan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya bila tak memiliki sumber
pajak yang kuat. Apalagi saat ini, negara kita diperhadapkan berbagai bencana
alam. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat terukur bila penerimaannya
terpenuhi.
Pembangunan infrastruktur yang rusak,
perbaikan hingga pemberian bantuan kepada korban bencana alam tak lepas juga
dari perhatian aparat pemerintah.
Kesadaran masyarakat Indonesia untuk
membayar pajak tepat waktu cukup memprihatinkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani
menganalogikan bahwa dari sepuluh orang bekerja di Indonesia, hanya satu saja
yang terdaftar sebagai wajib pajak. Kurangnya kesadaran wajib pajak di
Indonesia dilihat dari persentase tax ratio yang cenderung bergerak stagnan.
Semestinya, semakin besar nilai produk
domestik bruto (PDB) suatu negara, semakin besar pula tax ratio-nya. PDB
meliputi minat konsumsi masyarat, anggaran pembelanjaan pemerintah, investasi,
serta potensi ekspor bersih. Bila suatu negara berhasil mencanangkan setiap
kebijakan untuk merangsang kembali kinerja ekonomi semestinya hal ini mendukung
peningkatan rasio pajak.
Sampai saat ini, Indonesia masih
memiliki angka rasio pajak yang masih kecil. Untuk tahun 2020 lalu, angka tax
ratio yang ditargetkan pemerintah sebesar 11,5 persen. Sementara berdasarkan
data APBN 2021, rasio pajak akan dipatok 8,18 persen dari APBD. Penyebab tax
ratio yang rendah akibat dari pandemi Covid-19 yang masih merajalela. Mengacu
pada standar internasional, semestinya besar rasio pajak diharapkan bisa
menyentuh angka 15 persen. Jika setiap wajib pajak dengan taat dan bertanggung
jawab untuk melaporkan porsi pajaknya kepada negara, bisa dibayangkan aktivitas
pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan semakin lebih baik.
Mengapa di negara-negara seperti Amerika
Serikat dapat maju perekonomian, kecil angka penganggurannya serta kehidupan
masyarakat sejahtera di sana akibat budaya masyarakat yang memahami kontribusi
penting membayar pajak tepat waktu. Negara tersebut juga memberikan perhatian
kepada para senior citizens yang memiliki rekam jejak taat membayar pajak.
Itulah menjadi jawaban, para orang tua diberikan hak perlindungan yang memadai
di hari tua.
Sayangnya, bila negara menetapkan
kebijakan untuk menaikkan rasio pajak, hal ini akan menimbulkan sentimen
negatif yang berujung pada kesulitan untuk memenuhinya. Padahal
semestinya kita ketahui, dari pajaklah sumber utama bagi negara untuk
melaksanakan pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Kontribusi pajak ke
negara sekitar 70 persen dari seluruh penerimaan negara.
Ketidakpatuhan masyarakat sebagai wajib
pajak untuk memenuhi kewajibannya disebabkan kurangnya edukasi tentang
pentingnya pajak bagi keberlangsungan setiap program pembangunan. Tidak hanya
pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, pendidikan gratis, kesehatan
gratis serta utang negara pun dapat dilunasi.
Perhatian utama yang timbul kembali
adanya krisis ketidakpercayaan. Adanya isu penggelapan dana pajak membuat
sebagian pihak memiliki minat melakukan kelonggaran kepatuhan pajak.
Kekhawatiran akan menganggarkan dana pajak yang salah dalam arti tak tepat
sasaran menjadi sentimen negatif pula bagi para wajib pajak yang taat untuk
tidak patuh lagi.
Agar masyarakat dapat lebih menyadari
pentingnya membayar pajak, masyarakat perlu mengetahui adanya proses
pembangunan nasional yang tengah berlangsung saat ini berasal dari sebagian
pajak yang ditagihkan. Program meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat yang
berlangsung pula saat ini juga merupakan pengalokasian dana pajak
tersebut.
Meskipun banyak juga masyarakat yang telah memahami bahwa membayar pajak merupakan suatu kewajibannya, namun masih sedikit yang beranggapan bahwa pajak bagi negara tak begitu berdampak. Masa depan Indonesia tentunya akan lebih baik lagi bila seluruh wajib pajaknya mau memenuhi setiap kewajibannya.
(*) Penulis CPNS Dinas Koperasi dan
Perdagangan di Kisaran/Bergiat di PERKAMEN (Perhimpunan Suka Menulis)
https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2021/01/27/127732/pajak_persoalan_kita_bersama/
Komentar
Posting Komentar